AKUNTANSI A 2016

Saturday, December 17, 2016

Tasawuf Di Indonesia dan Tokohnya

TASAWUF DI INDONESIA DAN TOKOHNYA

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf Yang Di Ampu Oleh :
Bapak  Moch. Cholid Wardi, S.Hi, M.Hhi.





Disusun oleh :
KHUSNUL YAQIN
DEDI HERMAWAN
TRI WAHYUDI
MOH. IHLAS


PROGRAM STUDI  EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EBIS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PAMEKASAN
NOVEMBER 2016


KATA PENGANTAR


Assalamu’aikum wr. Wb

         Puja dan puji syukur kami mari kita panjatkan kepada Allah SWT yang maha Adil juga maha Bijaksana  karena berkat rahmat dan widayahnya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul tentang tasawuf di indonesia beserta tokohnya dengan waktu yang tepat.
         Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan nabi kita yaitu nabi Muhammad SWT, yang telah membawa kita dari alam kejahiliaan menuju alam yang terang menerang seperti yang kita rasakan pada hari ini. Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf  yang di bimbing oleh yang terhormat Bapak  Dosen Moch. Cholid Wardi selaku dosen mata kuliah Akhlak Tasawuf, saya mengucapkan terima kasih.
          Dengan tersusunnya makalah ini saya berharap bisa di jadikan bahan ajar, sehingga mampu menambah wawasan mahasiswa/mahasiswi di sekitar lingkungan STAIN pamekasan, serta mampu member dorongan dan motivasi kepada teman-teman semua lebih -lebih pada saya sebagai penulisnya.
          Disadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan dan masih memiliki banyak kekurangan, baik dari segi isinya, bahasa, penyusun dan lain sebagainya untuk itu saran dan kritik pembaca sangat membantu.
                                                                                      
                                         pamekasan, 11 November 2016



                                                                                                           PENYUSUN



                                                                DAFTAR ISI                                       


Kata pengantar........................................................................................................................ i
Daftar isi................................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang.................................................................................................................. 1
1.2  Rumusan masalah............................................................................................................. 1
1.3  Tujuan............................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 perkebangan Tasawuf di Indonesia.................................................................................. 2
2.2 Tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia.................................................................................. 5
2.3 istiah dalam Tasawuf........................................................................................................ 8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................... 9
3.2 saran................................................................................................................................. 9


BAB I
PENDHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Perkembangan tasawuf di indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi di kawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran islam di nusantara merupakan jasa para sufi. Dari sekian banyak naskah lama yang  berasal dari sumatra, baik yang di tulis dalam bahasa arab dan bahasa melayu. Berorientasi sufisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang cukup dominan dalam masyarkat saat itu. Sejak berdirinya kerajaan islam  pasai, kawasan pasai menjadi sentral penyiaran agama islam di berbagai daerah di sumatra dan pesisir utara pulau jawa. Perkembangan islam di jawa selanjutnya di gerakan oleh wali songo atau wali sembilan. Sebutan itu sudah cukup menunjukkan bahwa mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai pada derajatnya “wali”
.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Sejak kapan indonesia menjadi titik sentral penyiaran agama islam ?
2.      Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf indonesia ?
3.      Apa saja istilah dalam tasawuf ?
4.       
C.     RUMUSAN MASALAH
1.      Untuk  mengetahui sejarah perkembangan tasawuf di indonesia
2.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf di indonesia
3.      Untuk mengetahui istilah dalam tasawuf




BAB II

PEMBAHASAN
A.    Sejarah Perkembangannya.
Sebagai sebuah ajaran, tasawuf muncul pada zaman Rasulullah SAW, sebab misi kerasulannya meliputi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan keyakinan/keimanan (Aqidah), ibadah dan akhlaq.
Membahas perkembangan tasawuf diindonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi dikawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran islam dinusantara merupakan jasa para sufi.
Dari sekian banyak naskah lama yang berasal dari sumatera, baik yang ditulis dalam bahasa Arab maupun bahasa melayu, berorientasi sufisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lainnya, kita bisa melihat pengaruh yang sangat besar dari para sufi ini dalam mempengaruhi kepemimpinan raja, baik yang ada ditanah aceh maupun yang ada ditanah jawa. Dikawasan sumatera bagian utara, ada empat sufi terkemuka, antara lain:
1.      Hamzah Fansuri (-+ abad 17 M) terkenal dengan karya tulisannya ashar al-‘Arifin dan Syarab Al-‘asyikin, serta beberapa kumpulan syair sufistiknya.
2.      Syamsuddin pasai penulis kitab jauhar al-haqoriq dan mirat al-qulub. Dia adalah murid dan pengikut dari hamzah fansuri yang mengembangkan doktrin wahdat al-wujud ibnu arabi.
3.      Abd. Rauf singkel (w. 1639 M) merupakan penganut tarekat syattariyah, karyanya berjudul Mira’at ath-thullab.
4.      Nurruddin ar-raniri (w. 1644 M) penulis bustan as-salatin, dari kitab ini, kita bisa mengetahui bahwa ia adalah pengikut tasawuf sunni dan penentang tasawuf hamzah fansuri. Ia juga penasehat sultan iskandar tsani. Semua sufi besar ini merupakan penasihat sultan pada masanya.
Sejak berdirinya kerajaan islam pasai, kawasan pasai menjadi titik sentral penyiaran agama islam keberbagai daerah disumatera dan pesisir utara pulau jawa. Penyebaran islam kepulau jawa, juga berasal dari kerajaan pasai, terutama atas jasa maulana malik ibrahim, maulana ishak, dan ibrahim asmoro yang ketiganya adalah abituren pasai. Melalui keuletan mereka itulah, berdiri kerajaan islam demak yang kemudian menguasai kerajaan banten dan batavia melalui syarif hidayatullah.
Perkembangan islam di jawa selanjutnya digerakkan oleh wali songo atau wali sembilan. Sebutan itu sudah cukup menunjukkan bahwa mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai pada derajat “wali”. Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar islam, melainkan mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. Karena posisi itu, mereka mendapat gelar susuhunan yang biasa disebut sunan.[1]
Dalam dunia pesantren generasi awal, warna sufisme yang kental juga terlihat pada anutan mereka yang didominasi aliran sufisme al-ghazali, sufisme yang sangat kuat mewarnai kesantrian pada masa itu. Dalam kelompok ini, buku-buku karangan Al-Ghazali menjadi sumber bacaan sufisme yang paling digemari dan pada umumnya memuat pokok bahasan tasawuf akhlak dan tasawuf amali, yang keseluruhan beraliran tasawuf sunni. Disamping literatur-literatur sufisme yang berorientasi tasawuf akhlak dan tasawuf amali, dikalangan tertentu ditemukan literatur tasawuf falsafi, seperti Insan Kamil, karya abdul jalil Al-Jili serta futuhat Al-Makkiyah dan Fusus Al-Hakim, karya Ibnu Arabi.[2]
Ibn al-jauzi dan Ibn khaldun secara garis besar membagi kehidupan kerohian dalam islam di bagi dua, yakni zuhud dan tasawuf. Hanya saja diakui bahwa keduanya adalah istilah baru, sebab keduanya belum ada pada masa nabi muhammad SAW. Dan tidak terdapat dalam al-qur’an, kecuali zuhud disebut sekali dalam surt yusuf ayat 20.
            Istilah populer pada masa beliau ialah sahabat. Mereka adalah oranng-orang yang terhindak dari sifat syirik dan kehidupan jahiliyah, selalu mendengar dan meresapi Al- qur’an.
Ketika ia bersama-sama sahabatnya hijrah ke madinah, maka muncul istilah baru , yakni muhajir dan anshar. Muhajir berarti orang yang pindah dari mekkah ke madinah, sedang anshar merupakan julukan asli bagi penduduk orang madinah yang memberi pertolongan bagi kaum muhajir
Sudah di sebutkan bahwa ada  segolongan umat islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada tuhan melalui ibadah shalat, puasa, dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan tuhan. Jalan untuk itu disebut tasawuf.
Kalau kita kembali kepada awal sejarah islam, khususnya pada masa nabi, telah ada sahabat-sahabat yang menjauhkan diri dari kehidupan duniawi, banyak berpuasa di siang hari, dan bershalat serta membaca al-qur’an di malam hari, seperti abdullah Ibn umar, sehingga nabi mengatakan kepadanya “tubuhnya juga mepunyai hal-hak yang harus kau penuhi.” Selain dan abdullah Ibn umar disebut pula nama-nama seperti abu al-darda’, abu dzar al-giffari, bahlul Ibn zuaib, dan kahmaz al-hilali (harun,1985)
Pada abad 1 hijriyah bagian kedua, lahirlah hasan basri seorang zahid pertama dan termasyhur dalam sejarah tasawuf  ia lahir di madinah pada tahun 642 M, Dan meninggal di basrah pada tahun 728 M. Hasan basri tampil pertama dengan membawa ajaran khauf dan raja’, mempertebal takut dan harap kepada tuhan, Setelah itu tampil pula guru-guru yang lain, yang dinamakan qari’, mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohanian di kalangan kaum muslimin.
Sebenarnya bibit tasawuf sudah ada sejak itu, garis-garis besar mengenai thariq atau jalan beribadah sudah kelihatan di susun, dalam ajaran-ajaran yang di kemukan sana- sini sudah mulai dianjurkan mengurangi makan ( ju’), menjauhkan diri dari keramaain duniawi (zuhud), mencela dunia (dzamm al-dunya) seperti harta , keluarga dan kedudukan. Di sana-sini terdapat pemuka –pemuka agama, baik di iraq, kufah, dan basrah,maupun syam, mempelajari cara-cara meresapkan agama. Dicobanya mempraktikan hal-hal yang berlebihan, dari i’tikaf menjadi khalwat, dari pakaian tenun kapas sampai ke baju tenun bulu domba, dan dari dzikir yang sederhana menjadi dzikir yang hiruk-piruk,
Kemudian pada ahir abad 2 hijriyah, muncul rabi’ah al-adawiyah (w. 185 H), seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hubb al-ilah).selanjutnya pada abad II hijriyah ini, tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya, yakni sama dalam corak kezuhudan.saat itu mulai ada sebagian yang menampilkan istilah-istilah yang pelik seperti mengenai kebersihan jiwa (tharah an-nafs)[3]

B.     Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia.
Ada empat tokoh yang menjelaskan tasawuf di indonesia diantaranya,
1.      Hamzah Al-Fansuri.
Nama hamzah al-fansuri di nusantara bagi kalangan ulama’ dan sarjana penyidik keislaman tidak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah islam mencatat bahwa syekh hamzah al-fansuri dan muridnya syekh syamsuddin as-sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan al-hallaj. Paham hulul, ijtihad, mahabbah, dan lain-lain adalah seirama dengan al-hallaj.paham hulul, ijtihad, mahabbah, dan lain-lain adalah seirama dengan al-hallaj.syekh hamzah fansuri diakaui sebagai salah pujangga islam yang sangat populer ada zamannya sehingga namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusastraan melayu dan indonesia.namanya tercatat sebagai seorang kaliber besar dalam perkembangan islam di nusantara dari abadnya hingga kini.
Berdasarkan kata “Fansur” yang menempel pada namanya, sebagian peneliti beranggapan bahwa ia berasal dari fansur, sebutan orang arab terhadap barus yang sekarang merupakan kota kecil di pantai barat sumatra utara yang terletak di antara sibolga dan singkel.dalam salah satu syairnya, ia menulis,
Hamzah nur asalnya fansuri
Mendapat wujud di tanah syahr nawi,
Beroleh khilafat ilmu yang ‘ali
Dari pada abdul qadir sayyid jailani.
Ada yang berpendapat bahwa “syahru nawi” (pada bait kedua) adalah “bandar ayuthia”, ibu kota kerajaan Syam pada zaman silam.pendapat lain bahwa syahru nawi adalah nama lama dari tanah aceh sebagai peringatan bagi seorang pangeran siam bernama syahir nuwi yang datang ke aceh pada zaman dahulu, kemudian membangun aceh sebelum datang islam.
Syair –syair syekh hamzah fansuri terkumpul dalam buku-bukunya yang terkenal. Dalam kesusastraan melayu atau indonesia , tercatat buku-buku syairnya, antara lain syair burung pingai, syair dagang, syair pungguk, syair sidang faqir, syair ikan tongkol, dan syair perahu.
2.      Nuruddin Ar-Raniri.
Ar-raniri dilahirkan di  Ranir, sebuah kota pelabuhan tua dipantai Gujarat, India.nama lengkapnya adalah nuruddin muhammad bin hasanjin al-hamid asy-syafi’i ar-raniri. Tahun kelahirannya tidak di ketahui dengan pasti, tetapi kemungkinan besar menjelang akhir abad ke 16. Ia mengikuti langkah keluarganya dalam hal pendidikanya. Pendidikan terakhirnya di peroleh di ranir kemudian dilanjutkan kewilayah hadhramaut. Ketika masih di negara asalnya, ia sudah banyak menguasai banyak ilmu agama. Diantara banyak guru yang memngaruhinya abu nafs sayyid imam bin’abdullah bin syaiban, seorang guru tarekat rifaiyah keturunan hadhramaut gujarat, india.

Pendirian ar-raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham mutakallimin dengan paham para sufi yang diwakili ibn arabi. Ia berpendapat bahwa ugkapan “wujud Allah dan alam esa”berarti alam ini merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin,yaitu Allah swt.sebagaimana yang dimaksud ibnu arabi. Akan tetapi, ungkapan itu pada hakikatnya adalah bahwa alam ini tidak ada. Yang ada hanyalah wujud Allah yang esa.jadi,tidak dapat di katakan bahwa alam ini berbeda atau bersatu dengan Allah swt. Pandangan ar-raniri hampir sama dengan ibnu arabuddi bahwa alam ini merupakan tajalli. Akan tetapi,tafsirannya di atas membuatnya terlepas dari label panteisme ibnu arabi.

Ar-raniri berpandangan bahwa alam ini di ciptakan Allah swt.melalui tajalli. ia menolak teorial-faidh (emanasi) al-farabi karena membawa pengakuan bahwa alam ini adalah qadim sehingga dapat jatuh pada kemusyrikan. Alam dan falak, menurutnya, merupakan tajalli asma dan sifat Allah SWT. Dalam bentuk yang konkret. Sifat ilmu ber-tajalli pada imu akal; nama Rahman ber-tajalli pada Arsy, nama Rahim ber-tajalli pada kursy; nama Raziq ber-tajalli pada falak ketujuh; dan seterusnya. Dan manusia merupakan makhluk Allah SWT. Yang paling sempurna didunia.[4]
3.      Syamsuddin al-sumatrani
Syamsuddin al-sumatrani merupakan tokoh sufi kenamaan di aceh. Ia adalah murid hamzah fansuri yang mengajarkan faham wujudiyyah. Ia hidup pada masa kejayaan kesultanan aceh di bawah kekuasaan sultan iskandar muda, atau disebut juga dengan mahkota alam (1607-1636). Seperti halnya hamzah fanzuri, syamsuddin juga mendapatkan kedudukan penting disisi sultan.ia meninggal pada tahun 1630 m.
Dalam pemikiran tasawufnya syamsuddin al-sumatrani membahas tentang martabat tujuh dan dua puluh sifat tuhan.konsep martabat tujuh ini pertama kali dicetuskan oleh muhammad  Ibn fadlullah al-Burhanquri seorang ulama’ kelahiran termasuk manusia adalah aspek lahir dari hakikat yang tunggal, yaitu tuhan. Tuhan sebagai yang mutlakTidak dapat dikenal baik oleh akal, indera, maupun khayal.dia dapat dikenal setelah ber-tajalli sebanyak tujuh martabat sehingga tercipta alam semesta beserta isinya, termasuk manusia sebagai aspek lahir dari tuhan.
Menurutnya, yang awwal adalah martabat ahadiyyah ; yang al-akhir adalah martabat wahidiyyah; yang al-bathin adalah martabat-martabat alam al-arwah, alam al-mitsal, alam al ajsam, alam al-insan.
Konsep martabat tujuh cenderung berhubungan dengan teori dengan tanazzul dalam tasawuf.tanazzul (tanzil) diartikan sebagai turunnya wujud dengan penyingkapan tuhan dari kegaipan ke alam penampakan melalui berbagai tingkat perwujudan.martabat tujuh yang telah memasuki nusantara melalui alam pikiran para sufi aceh abad ke- 17 merupakan pengembangan paham penghayatan union-mistik dari ajaran al-hallaj dan Ibn Arabi, atau sebagai hasil pengembangan dari konsep tajalli Ibn Arabi dan jilli, dengan beberapa modifikasi, akan tetapi konsep pemikiran tentang ketujuh martabat itu merupakan hal yang baru, yang tidak di jumpai dalam konsep-konsep pemikiran sebelumnya.
4.      Abd. Rauf al-sinkli
Setelah ar raniri, tokoh penting lainnya adalah Abd. Rauf al-sinkli.tokoh utama dan mufti besar kerajaan aceh pada abad ke-17 (1606-1637 M) ini bernama lengkap Abd.Rauf  bin ali al- jawi al-fansuri al-sinkli. Tahun kelahirannya tidak di ketahui dengan pasti. Namun, ada yang menyebutkan pada tahun 1024 H  atau 1615M.
As-sinkli sempat menerima bai’at tarekat satariyyah di samping ilmu-ilmu sufi yang lain, termasuk sekte dan bidang ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ada hubungan dengannya. Abd. Rauf al-sinkili adalah ulama aceh yang berupaya “mendamaikan” ajaran martabat alam tujuh yang dikenal di aceh sebagai faham wadah al-wujud atau wujuddiyyah (phantheisme) dengan faham sunnah. Meskipun demikian, Syeikh Abd.Rauf as-sinkli tetap menolak faham wujudiyyah yang menganggap adanya penyatuan antara tuhan dan hamba. Ajaran inilah yang kemudian dibawa oleh muridnya, syekh abd muhyi pamijahan kejawa.
Menurut hasyimi, seperti dikutip azyumardi azra, ayah al-sinkli berasal dari persia yang datang ke samudera pasai pada akhir abad ke-13 dan menetap di fansur, barus, sebuah kota pelabuhan tua dipantai barat sumatera. Pendidikannya dimulai dari ayahnya di simpang kanan (sinkli). Dari ayahnya, ia belajar ilmu-ilmu agama, sejarah, bahasa arab, mantiq, fisafat, sastra arab dan melayu, dan bahasa persia. Pendidikannya dilanjudkan di samudera pasai dan belajar pada syekh samsuddin al-sumatrani di dayah tinggi. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke arabia.[5]

C.     Berbagai istilah dalam tasawuf
1.      Al-dzikr
Secara etimologi, perkataan dzikir berakar pada kata dzakara, artinya memperhatikan, mengingat, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti, ingatan. Dzikir itu bahasa umumnya sama dengan ingat yang berarti dapat di lakukan dimana saja dan dalam semua keadaan, ia dapat di ucapkan leh hati (dzikir hafi), dapat di ucapkan oleh lidah atau (dzikir lisan), dapat dilakuan oleh anggota badan lainnya dengan perilaku dan akhlak mahmudah.
Dzikir mengandung makna pegingatan kepada  allah swt. Adapun dalam bahasa arab, pengingatan kepada allah swt diistilahka dengan dzikrullah. Dzikir dalam pengertian khusus adalah latihan rohani untuk ingat kepada allah swt yang dilakukan dengan membaca kalimat tauhid (tahlil) “la ilaha illallah” atau lafal al-jalalah (Allah) atau nama-nama yang di sebut dalam asmaul husna. Kata ingat disini dapat di artikan dengan hadirnya allah swt dalam hati atau menghadirkan allah dalam hati, sehingga keberadaan allah swt itu di sadari sebenar-benarnya oleh orang yang berdzikir dan mempengaruhi segala perbuatannya.
2.      Al-uns
Uns atau keakraban atau sifat merasa selalu berteman, tidak pernah merasa sepi. Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh kepada suatu titik sentral yaitu allah, tidak ada yang dirasa, tidak ada yang di ingat, dan tidak ada yang diharap kecuali allah. Walaupun situasi atau keadaan uns itu mirip dan hampir sama dengan fana, namun orang sufi tidak menyebutnya fana, tetapi al-mahwu,yaitu sekadar pemusatan seluruh ekspresi secara utuh kepada suatu arah. Kesenangan dan kegembiraan hati hamba karena tersingkap baginya kedekatan (qurb), keindahan dan kesempurnaan allah swt. Uns mrupakan keadaan spiritual ketika hati di penuhi cinta dan keindahan, kelembutan dan belas kasih, serta pengampunan allah. Keindahan uns tidak dapat di lukiskan. Hal daat dialami oleh pendengar dalam konsep spiritual (sama’) yang menyebabkannya mengalami kemabukan (wajd) ketika menemukan allah.
3.      Al-qurb
Al-qurb atau kedekatan kepada allah. Qurb merupakan maqam  kesempurnaan. Al-muqarrabun adalah hamba-hamba yang telah mencapai kedekatan seperti ini. Dengan mempunyai pengetahuan tentang kejauhan (bu’d)-nya dari allah seseorang hamba sesungguhnya di didekatkan (qurb).
Tingkatan pertama dalam al-qurb adalah dengan melalukan ketaatan kepada allah, dan menghabiskan waktu untuk beribadah kepadanya. Dekatnya hamba dengan tuhan adalah dengan imannya dan merealisasikan keimanan itu, merupakan iksanny. Dekat dengan allah sekarang, berarti dengan mengenal allah dan mengetahuinya, dan diakhirat dengan meihatnya langsung.
4.      Al-wushul
Wushul adalah mencapai,menyambung. Al-wushul adalah tersingkapnya hiasan al-haq kepada seorang hamba dan dia tenggelam di dalamnya. Apabila dia memandang pada pengetahuannya, dia tidak mengetahui apapun selain allah. Jika ia memandang keinginannya maka dia tidak mempunyai keinginan kepada selain dia. Karena itu keseluruhannya disibukkan dengan keseluruhannya dalam hal musyahaddah dan keinginan. Atau suatu keadaan seorang sufi yang pada kondisi tertentu merasa sudah mencapai kepada allah.[6]
5.      Al-hulul
Konsepsi al-hulul pada pertama kali ditampilkan oleh husein Ibn manshur al-hallaj yang meninggal karena di hukum mati di baghdad pada tahun 308 H, karena paham yang disebarkan dipandang sesat oleh penguasa saat itu.
Pengertian al-hulul secara singkat adalah, tuhan mengambil tempat pada tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana dan ektase. Sebab menurut al-hallaj mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat ke-tuhan-an atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiannya dan mngembangkan sifat-sifat ilahiahnya melalui fana, maka tuhan akan mengambil tempat pada dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan tuhan dan inilah yang di maksud dengan hulul.
6.      Wihdah al-wujud
        Paham ini merupakan perluasan dari paham hulul,yang dibawa oleh muhyial-din Ibn arabi kelahiran spanyol pada 560 H di damaskus.
        Paham ini perluasan dari konsepsi (paham) al-hulul adalah karena nasut yag ada dalam              paham al- hulul ia ganti dengan khalq (makhluk), sedang lahut menjadi al-haq (tuhan) khalq dal al-haq adalah dua sisi bagi segala sesuatu, dua aspek yang ada pada sesuatu. Aspek lahirnya di sebut khalaq dan aspek yang sebelah batinnya di sebut al-haq. Dengan demikian segala sesuatu yang ada ini mengandung aspek lahir dan aspek batin atau terdiri dari ‘Ard (accident) dan jauhar (substance). Aspek khalq atau aspek luar memiliki sifat kemakhlukan atau nasut sedangkan aspek batin atau al-haq memiliki sifat ketuhanan atau lahut. Tiap-tiap yang bergerak tidak lepas dari kedua aspek itu, yaitu sifat ke-tuhanan dan aspek kemanusiaan. Tetapi yang terpenting adalah aspek batinnya atau aspek al-haq dan aspek ini yang merupakan hakikat atau esensi dari tiap-tiap yang wujud.   [7]
   




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Sejak berdirinya kerajaan islam pasai, kawasan pasai menjadi titik sentral penyiaran agama islam keberbagai daerah di sumatra dan pesisir utara pulau jawa.
2.      Tokoh-tokoh tasawuf indonesia diantaranya hamzah al-fansuri, nuruddin ar-raniri, syamsuddin al-sumatrani, Abd rauf al-sinkli
3.      Istilah dalam tasawuf diantaranya Al-dzikr, Al-Uns, Al-qurb, Al- wushul, Al-hulul, Wihdah al-wujud



B.     Saran
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis berharap agar para pembaca untuk memberikan saran yang bersifat positif dan membangun kepada makalah ini guna meningkatkan kekreatifan dan skil dalam membangun makalah yang sempurna.






DAFTAR PUSTAKA

 Anwar, Rosihon Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010
 Toriquddin, Moh., Sekularitas Tasawuf, Malang: UIN Malang Press, 2008
 Syukur, Amin, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 1999/2002






Lembar kerja
1.      Sejak kapan islam masuk ke Indonesia ?
2.      Ada berapa tokoh tasawuf di Indonesia ?
3.      Apa manfaat tasawuf bagi anda ?
4.      Apa yang dinamakan dzikir?
5.      Apa saja istilah dalam tasawufm, sebutkan salah satunya ?
6.      Apa perbedaan al-Qulb dan al-wushul menurut anda?
7.      Apa saja manfaat istilah dalam tasawuf yang enam bagi anda?













[1] . Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlak Tasawuf, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2010), Hal.337-339
[2]. Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlak Tasawuf, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2010), Hal.337-339.
[3]Amin syukur, MA Menggugat Tasawuf, (yogyakarta, PUSTAKA PELAJAR, 2002), Hal. 28-30
[4] Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlak Tasawuf, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2010), Hal.340-344
[5] Toriquddin, Lc, MHI, Sekularitas Tasawuf, (Yoqyakarta, UIN-Malang Press, 2008).Hal.132-148.
[6] Moh.toriquddin, Lc, MHI, Sekularitas Tasawuf, (Yoqyakarta, UIN-Malang Press, 2008).Hal.156-159
[7] Moh.toriquddin, Lc, MHI, Sekularitas Tasawuf, (Yoqyakarta, UIN-Malang Press, 2008).Hal.156-159










Saturday, December 10, 2016

Makalah Tasawuf Tasawuf Irfani

TASAWWUF IRFANI, TOKOH DAN KONSEPNYA

MAKALAH
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawwuf
yang diampu oleh: Moch. Cholid wardi, M.HI.

Oleh kelompok 6:
Imamil Faris Maulana
NIM: 20160703040053.
Moh. Suud
NIM: 20160703040060
Muhammad Syahrul Mawardi
NIM: 20160703040019.
Ahmad kusairi
NIM: 20160703040045






PROGRAM AKUNTANSI SYARI’AH (AS)
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM (EBIS)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
TAHUN 2016



KATA PENGANTAR

            Assalamu’alaikum wr. wb.
           
            Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia dan hidayahNya kepada kita semua sehingga akhirnya tugas karya tulis ini dapat terselesaikan. Sholawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang dengan mana kita dapat meniru suri tauladan beliau sehingga kita dapat membuat makalah ini.
            Dengan tersusunnya makalah ini kami berharap para pembaca dapat memahami isi makalah ini dan berminat untuk membacanya dan kami berharap makalah ini dapat berguna untuk kita semua. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan rahmat dan karunia-Nya serta keridhoan-Nya kepada kita semua, amin.
            Akhir kata, kami mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam  menyelesaikan makalah ini dan kami memastikan bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, maka dari itu kami minta saran dan kritiknya. Harapan penulis, semoga penulisan karya tulis ini dapat diambil manfaatnya oleh pembaca.
           
Wassalamu’alaikum wr. wb.

Pamekasan, 30 November 2016


(Penyusun)                      



 
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..........................................................................................................  i
KATA PENGANTAR ........................................................................................................  ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
                  A.    Latar Belakang.................................................................................................. 1
                  B.     Rumusan Masalah............................................................................................. 1
                  C.     Tujuan ...............................................................................................................  1
BAB II.PEMBAHASAN ..................................................................................  2
                  A.    Pengertian Tasawwuf Irfani ..............................................................................  2
                  B.     Tokoh-tokoh Sufi................................................................................................ 2
                 1.      Rabi’ah Al-Adawiyah......................................................................... 2
                 2.      Dzu An-Nun Al-Mishri....................................................................... 4
                 3.      Al-junaidi al-baghdadi......................................................................... 8
                 4.      Abu Manshur Al-Hallaj..................................................................... 11
                 5.      Abu Yazid AL-Bustomi....................................................................... 13
BAB III. PENUTUP.............................................................................................. 16
                A.    Kesimpulan............................................................................................................ 16
                B.     Saran..................................................................................................................... 16
 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................  iv
LEMBAR KERJA ..............................................................................................  v

 


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dalam keterbuaian akan kenikmatan dunia sehingga mereka terkadang mereka lupa terhadap tuhan yang menciptaknnya. Keadaan inilah membuat manusia lemah dalam demensi spiritualnya dan mambuat nilai-nilai spiritulitas yang selama ini kita pegang secara teguh lambat laun akan terkikis. Kita sering menyaksikan tercerabutnya akar spriritualitas di panggung kehidupan. Salah satu penyebabnya adalah pola hidup global yang dilayani oleh perangkat teknologi yang serba canggih.
Dalam konteks Islam, untuk mengatasi keterasingan dan kekosongan spiritualitas dan sekaligus membebaskan dari derita penyakit keduniaan yang fana ini, maka kita harus menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir (The Last Destination) dan kembali, karena Tuhan adalah Dzat Yang Maha Memiliki dan Maha Absolut. Keyakinan dan perasaan seperti inilah yang akan memberikan kekuatan, kendali dan kedamaian jiwa seseorang sehingga ia merasa senantiasa berada dalam jalan Tuhan.
B.       Rumusan Masalah
       Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Apa pengertian tasawuf irfani?
2.      Siapa tokoh sekaligus konsep dalam tasawuf irfaninya?
C.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan ditulisnya makalah ini adalah:
1.    Mengetahui pengertian tasawuf irfani.
2.    Mengetahui tokoh-tokoh beserta konsepnya.



BAB II
PEMBAHASAN
      A.    Pengertian Tasawuf Irfani
Secara etimologis, kata irfan merupakan kata jadian (masdhar) dari kata ‘arafa’ (mengenal/pengenalan). Adapun secara terminologis, ‘irfan diidentifikasikan dengan ma’rifat sufistik. Dengan demikian pengertian tasawuf irfani adalah penyingkapan hakikat kebenaran atau ma’rifah kepada Allah tidak di peroleh melalui teori-teori perilaku sebagai mana tasawuf akhlaki atau teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman yang mendalam sebagai mana tasawuf falsafi, akan tetapi melalui hati yang bersih (suci) yang dengannya seseorang dapat berdialog secara bathini dengan tuhan sehingga pengetahuan atau ma’rifah dimasukkan Allah kedalam hatinya, hakikat kebenaranpun tersingkap lewat ilham.[1]
Aliran ‘irfani berpandangan bahwa apapun yang ada di dunia alam semesta ini adalah manifestasi-manifestasi Ilahi, yang tidak mungkin ada tanpa adanya Tuhan, sang wujud sejati.[2] Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Allah, yang di buat  agar kiat bisa berfikir betapa besar kekuasaan Allah, dan betapa belas kasihan-Nya terhadap manusia, sehingga dengan itu semua manusia dapat memenuhi segala kebutuhan hidupannya di alam ini.
Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan manusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Ini tingkatan ikhlas yang paling tinggi, kita tidak ingin di puji, atau jika di puji tidak pernah berubah, dan apabila di caci maki juga tidak pernah berubah. Semuanya adalah untuk Allah semata.[3]

B.     Tokoh-tokoh Sufi yang Termasuk dalam Aliran Tasawuf Irfani
            Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, diantaranya sebagai berikut: 
                        1.         Rabi’ah Al-Adawiyah
     a.     Biografi Singkat Rabi’ah Al-Adawiyyah
Rabi’ah yang bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail al-Adawiyyah al-Bashriyah al-Qaisiyah, diperkirakan lahir tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di sebuah perkampungan di dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Karena ia putri keempat, orang tua menamakannya Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Konon, pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan di jual kepada keluarga atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini, ia di kenal dengan al-Qaisiyah atau al-Adawiyyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan karena tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala al-Adawiyyah dan menerangi seluruh ruangan rumah saat ia beribadah.[4]
Setelah di merdekakan tuannya, Rabi’ah pergi hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah. Dia jalani sisa hidupnya hanya dengan beribadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagai kekasihnya. Bahkan ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang di berikan orang kepadanya.[5]
Pendapat ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi. Rabi’ah menurutnya, sebelum bertobat pernah menjalani kehidupan duniawi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Rabi’ah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan yang digunakan Badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat Rabi’ah itu sendiri. Menurut Badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabi’ah kepada Allah begitu ekstremnya, kecuali ia pernah sedemikian jauh dalam menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya.[6]
     b.    Konsep Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyyah
Rabi’ah al-Adawiyyah tercatat dalam perkembangan mistisme Islam sebagai peletak dasar tasawuf  berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut dan penghargaan kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Bahkan menurut  Riwayat, rabi’ah  al- Adawiyyah selalu menolak lamaran pria sholeh dengan mengatakan : “akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan lepas dari diri. Aku maujud dalam tuhan dan diriku sepenuhya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mesti di minta dari-Nya, bukan diriku”.[7]
Rabi’ah mengartikan cinta (Al-Hub) kepada Allah dengan nilai Ikhlas yang begitu mendalalam dalam hatinya, sehingga apapun yang ia lakukan bukan semata mata karena dia takut terhadap ancaman Allah, ataupun mengharap balasan dari Allah, namun lebih dari itu dia melakukan semua itu berdasarkan rasa cintanya kepada Allah yang sudah kian membara sehingga dapat menghilangkan nafsu keduniaannya.
Inilah mengapa Rabi’ah al- Adawiyyah di anggap sebagai seorang sufi yang meletakkan dasar konsep zuhud berdasarkan cinta (Al-hub). Konsep yang di bawa oleh Rabi’ah al-Adawiyyah ini membuat dia berbeda dengan Hasan al-Bashri.[8] Sikap dan pandangan Rabi’ah al-Adawiyyah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. al-Qusyairi meriwayatkan bahwa katika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akan Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu?” Tiba-tiba terdengar suara, ”Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.”[9]
                        2.         Dzu An-Nun Al-Mishri
      a.       Biografi Singkat Dzu An-Nun Al-Mishri
Dzu An-Nun al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu al- Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di salah satu kawasan di mesir bernama Ekhmim pada tahun 180 H/796 M. Dan wafat pada tahun 246 H/856 M.[10]
Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi, sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia mengambil riwayat hadis dari Malik, al-Laits, dan lain-lainnya. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain al-Hasan bin Mush’ib An-Nakha’iy. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran  Al-‘Abd atau Israfil al-Maghribiy. Ini yang menjadikan ia seorang alim, baik dalam ilmu syariat maupun tasawuf.[11]
Pengembaraan keilmuannya membuat di menjadi orang yang alim dalam ilmu tasawuf pada saat itu, dan pengetahuan syari’atnya juga tidak di ragukan lagi, jika di lihat dari salah satu gurunya seperti imam hanbal  yang merupakan imam terkemuka pada saat itu maka dapat dapat di simpulkan bahwa dia layak di katakan orang yang ‘alim dalam pengetahuan syari’at.
Sebelum al-Mishri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ia adalah orang pertama yang memberi tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia pun merupakan orang pertama di Mesir yang membicarakan tentang Ahwal dan Maqamat para wali dan orang yang pertama memberi definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.[12]
Dalam perjalanan hidupnya yang suka mengembara, menyebabkan dia berhubungan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal, mengambil riwayat hadis dari Malik, al-Laits dan lain-lain.[13] 
      b.       Konsep ajaran Tasawuf Dzu An-Nun Al-Mishr
al-Mishri adalah pelopor paham makrifat. Penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan riwayat al-Qathi dan al-Mas’udi yang kemudian dianalisis Nicholson dan Abd al-Qadir dalam falsafah as-Sufiah fi al-Islam, al-Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang makrifat dalam bidang sufisme Islam. Pertama, ia membedakan “makrifat sufiah” dengan “makrifat aqliyah”. Bila yang pertama menggunakan pendapat qalb yang biasa digunakan para sufi, yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua, menurut al-Mishri, makrifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab makrifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga, teori-teori makrifat al-Mishri menyerupai genosisme ala-Platonik. Teori-teorinya itu kemudian di anggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad.[14]
Kedua pandangan  al-Mishri di atas menjelaskan bahwa makrifat kepada Allah tidak dapat di tempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan makrifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini, sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan.
 Ma’rifah menurut Al-Mishri terbagi menjadi tiga macam. Pertama yaitu Ma’rifah orang awam, kedua Ma’rifah para teolog dan filsuf. Dan yang terakhir adalah Ma’rifah para wali-wali Allah.[15]
            Adapun maqamat dalam perspektif kaum sufi tidaklah sama antara satu dan yang lainnya. Hal itu di sebabkan maqamat adalah pengalaman individu/pribadi sang sufi yang hanya dapat di rasakan oleh pribadi yang bersangkutan.[16] Dan pandangan Al-Mishri tentang maqamat, dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu: at-taubah, ash-shabr, at-tawakal dan ar-ridha. Dalam Dairat al-Ma’rifat al-Islamiyyat terdapat keterangan berasal dari al-Mishri yang menjelaskan bahwa simbol-simbol zuhud itu adalah sedikit cita-cita, mencintai kekafiran, dan memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang di sebut al-Mishri lebih sedikit dibandingkan dengan apa yang dikemukakan sejumlah penulis sesudahnya.
Menurut al-Mishri, ada dua macam taubat, yaitu taubat awam dan taubat khawas. Taubat awam maksudnya adalah taubatnya seseorang karena kelalaian dan kekhilafan (dari mengingat Allah). Dalam ungkapan lain, ia mengungkapkan bahwa sesuatu yang di anggap sebagai kebaikan oleh al-abrar di anggap sebagai dosa al-muqqarabin. Pandangan ini mirip dengan pernyataan al-Junaidi yang mengatakan bahwa tobat adalah “engkau melupakan dosamu”. Pada tahap ini orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju kepada kebesaran Tuhan dan dzikir yang berkesinambungan.[17]
 Al-Mishri mejabarkan tentang maqam as-shabr dalam potongan dialognya dengan seseorang, ketika ia menjenguknya. Ketika orang sakit itu merintih, maka al-Mishri berkata, “Tidak termasuk cinta yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan”. Orang sakit itu kemudian menimpali perkataan al-Mishri, “Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”[18]
Maqam tawakal pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari maqam as-shabr. Oleh karenanya maka seorang yang mencapai derajat as-shabr. Dengan sendirinya adalah seorang yang telah mencapai derajat Tawakkal.[19] Namun  al-Mishri mendefinisikannya sebagai berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan.[20]  seseorang yang telah mencapai tingkatan taqwa ini maka segala kecemasan yang ada pada dirinya tidak terasa lagi karena sifat tawakkal orang tersebut telah menjadi hiasan utama dalam hatinya atau bahkan telah menjadi dinding dalam hatinya sehingga kedekatannya kepada Allah semakin nampak. Dan tercermin dalam prilaku sehari-harinya.
Yang keempat adalah ar-Ridha. Ridha merupakan buah dari tawakkal. Dimana jika seorang sufi telah benar-benar melaksanakan tawakkal, maka dengan sendirinya ia sampai pada makna ridha.[21] Sehingga dengan begitu seseorang yang dalam hatinya masih mempunyai suatu sifat Riya’ dan Takabbur maka dapat di pastikan bahwa tidak akan pernah mencapai tingkatan sebagai orang yang menyandang sifat ar-ridha.
Dalam pengertian ar-Ridha al-Mishri mendefinisikan kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh al-Qanad, yakni ar-ridha adalah ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan Tuhan. Kedua pendapat ini pada dasarnya menunjukkan makna yang sama. Perbedaanya hanya terletak pada pemilihan kata al-Mishri memilih kata surur  al-qalb (kegembiraan hati) untuk ketenangan hati, sedangkan al-Qanad memilih kata sukun al-Qalb (ketenangan Hati).[22]
Berkenaan dengan Ahwal. Ahwal  adalah jamak dari hal yang berarti ”keadaan” hal adalah keadaan peristiwa yang di alami oleh kaum sufi ketika ketika ia menempati maqam tertentu.[23] Al-Mishri menjadikan mahabbah “cinta kepada Tuhan” sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab, orang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW, dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah dan sunnahnya. Dan tiga simbol mahabbah menurutnya yaitu: ridha terhadap hal-hal yang tidak di senangi, berprasangka terhadap sesuatu yang belum di ketahui, dan berlaku baik dalam menentukan pilihan terhadap hal-hal yang di peringatkan.[24]
                        3.         al-Junaidi al-Baghdadi
a.     Biografi al-Junaidi al-Baghdadi
Abu aI-Qasim al-Junayd bin Muhammad al-Junaid aI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn al-Junaidi. Ia adalah murid dari Surri al-Saqati dan Haris al-Muhasibi.[25]
al-Junaidi pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang bernama Surri al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan al-Junaidi, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik. Dan ia meninggal tahun 297 H / 298 M. dan dianggap sebagai perintis dari tasawuf yang bercorak ortodoks.[26]
b.    Konsep ajaran Tasawuf al-Junaidi al-Baghdadi
Ajaran tasawuf al-Junaidi al-Baghdadi muncul setelah terjadinya salah pemahaman antara para yuris (fukaha) atau ahli fikih untuk mengambil sikap. Sehingga muncul pertentangan antara para pengikut tasawuf dan ahli fikih. Ahli fikih memandang pelaku tasawuf sebagai orang-orang zindik, yang mengaku Islam tapi tidak pernah menjalankan syariatnya. Hal ini karena, banyak pelaku tasawuf yang secara lahir meninggalkan tuntunan-tuntunan syari’at. Sebaliknya, tokoh zuhud-tasawuf memandang tokoh-tokoh fikih sebagai orang-orang yang hanya memperhatikan legalitas suatu persoalan, banyak penyelewengan dilakukan untuk mendapatkan hal-hal yang sebenarnya dilarang.
Dari adanya hal itu, al-Junaidi al-Baghdadi memberikan penegasan lebih lanjut akan pentingnya amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut al-Junayd,  tasawuf adalah pengabdian kepada Allah dengan penuh kesucian. Oleh karena itu, barang siapa yang membersihkan diri dari segala sesuatu selain Allah, maka ia adalah sufi.
Karena penekanan pada aspek amaliah inilah, maka tasawuf al-Junayd al-Baghdadi terkesan berusaha menciptakan keseimbangan antara syari’at dan hakikat. Ini merupakan kecenderungan yang berbeda sama sekali dengan tasawuf yang berorientasi pada pemikiran atau falsafah. syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat akan tertolak, demikian pula hakikat yang tidak diperkuat dengan syari’at juga akan tertolak. Syari’at datang dengan taklif kepada makhluk sedangkan hakikat muncul dari pengembaraan kepada yang Haq (Allah). Hal itu berarti kedekatan kepada Allah dapat dicapai manakala orang telah melaksanakan amaliah lahiriah berupa syari’at dan kemudian dilanjutkan dengan amaliah bathiniah berupa hakikat.[27]
al-Junaidi dikenal pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada al-Qur’an dan Hadits.[28]
Pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan segala urusan duniawinya. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak  terlalu peduli.
Begitu halnya mengenai masalah hulul dan ittihad yang tetap melandasinya dengan apa yang terdapat didalam ajaran al-Qur’an dan Hadis. Sebagaimana jawaban al junaidi ketika di tanya tentang tauhid bagi orang khawas (kelompok tertentu) yaitu : hendaklah seseorang menjadi pribadi yang berada di tangan Allah di mana segala kehendak-Nya berlaku bagi dirinya. Dan ini tidak bisa tercapai kecuali dengan menjadikan dirinya  fana terhadap dirinya dan makhluk sekitarnya. Dengan sinarnya prasaan dan kesadarannya maka seluruhnya berlaku kehendak Allah. Hanya perlu di perhatikan di sini bahwa al-junaid mengatakan: “tauhid yang secara khusus yang di anut para sufi adalah pemisahan antara yang qodim dengan yg hudus”. Dengan pemikiran seperti ini, al-junaid di pandang sebagai orang yang mendasarkan tasawuf kepada al-Quran dan as-Sunnah.[29]  
Jika melihat uraian di atas terlihat bahwa pembicaraan tentang fana berhubungan baqa sekaligus ittihad (persatuan manusia dengan tuhan). Hanya yang perlu di perhatikan disini adalah bahwa al-junaid membedakan antara yang qadim dengan hudus meskipun dapat bersatu keduanya tetap berbeda.[30]   
Artinya tasawuf  Junaid  al-Baghdady ini tetap memandang bahwa pentingnya syariat demi mencapai akhirat. Dimana, ajaran tasawuf al-Junaid ini sama dengan ajaran tasawuf al-Muhibbi yang memberi tekanan besar pada disiplin diri  atau lebih sepesifik pada disiplin kalbu. Ia memperjelas antara  orientasi ukrawi dan moralitas.
Dari ajaran tasawuf  al-Junaidi al-Baghdadi ini sangat jelas bahwasanya, orang sufi itu tetap diwajibkan menjalankan syari’at untuk mencapai kehadirat Ilahi Rabbi. Tanpa menjalankan syari’at, seseorang tidak akan sampai kepada Allah.
                         4.           Abu Manshur al-Hallaj
     a.     Riwayat Hidup al-Hallaj
Nama lengkap al-Hallaj adalah  Abu al-Mughist al-Husain bin Manshur bin Muhammad al-Baidhawi. Ia lahir di Baidha, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/255M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Bagdad. Pada usia 16 tahun ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah Tusturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian ia pergi ke Bashrah dan berguru kepada ‘Amr al-Makki yang juga seorang sufi. Pada tahun 878 M, ia masuk ke kota Bagdad dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu ia pergi mengembara dari satu negeri kenegeri lain untuk menambah penegtahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia digelari al-Hallaj karena penghidupannya yang di peroleh dari memintal wol.[31]
al-hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan- penyelewengan yang terjadi oleh sebab itulah al-hallaj di penjara dengan tuduhan kemurtadan setelah akhirnya al-hallaj di hukum gantung tapi sebelum di gantumg ia di cambuk seribu kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu di penggal kepalanya. Tetapi sebelum di pancung ia meminta waktu melaksnakan sholat dua rakaat. Setelah selesai shalat, kaki dan tangannya di potong, badannya di gulung dalam tikar bambu lalu di bakar dan abunya di buang ke sungai, sedangkan kepalanya di bawa ke khurasan untuk di pertontonkan. al-hallaj wafat pada tahun 922 M.[32]
     b.    Ajaran Tasawuf al-Hallaj
Di antara ajaran tasawuf al-Hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembang Ibn ‘Arabi. al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul). Kata al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mngambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.[33] Namun menurut al-Tusi dalam al-luma’, sebagai dikutip Harun Nasution, ialah paham yang mengatakan bahwa tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh itu di lenyapkan.[34]
al-Hallaj berpendapat bahwa diri manusia sebenarnya terdapat sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan Al-Qur’an dalam surah al-Baqarah ayat 34. Pada ayat itu di jelaskan Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Padahal menurut al-Hallaj yang berhak diberi sujud hanya Allah, oleh karena itulah ia memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya sendiri dan ia pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia marasa ada dalam bentuk copy diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam. Pada diri Adam lah, Allah muncul.
Menurut al-Hallaj, pada hulul mengandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak ilahi sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Namun, di lain waktu, al-Hallaj mengatakan: “Barang siapa mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri dalam dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.”[35]
Ajaran al-hallaj membedakan antara al-ittihad dengan al-hulul. al-ittihad adalah terjadinya persatuan wujud sehingga terlihat satu wujud sedangkan al-hulul terdapat dua wujud yang menempati satu tubuh.[36]
Dari uraian di atas, al-Hallaj tidak mengakui bahwa dirinya adalah Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan. Jadi dapat disimpulkan bahwa hulul yang terjadi pada Al-Hallaj tidaklah real karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang berlansung pada kondisi fana’, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan.
                        5.         Abu Yazid al-Bustami
a.     Biografi Singkat
Abu Yazid nama lengkapnya adalah Abu Yazid ibn “isa ibn surusyan. al busthami- lahir di daerah bustam (persia) tahun 874-976 M. Nama kecilnya adalah Thaifur, kakeknya seorang penganut agama zoroaster dan kemudian masuk islam. Keluarganya termasuk orang kaya di bustam, tetapi mareka memilih untuk tetap hidup sederhana.[37]
Sewaktu menjalani usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti ajaran agama, serta berbakti kepada  orang tuanya. Suatu hari gurunya menerangkan suatu surat dari al-Qur’an surat al-Luqman, “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang kerumahnya untuk menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan Allah.
Dalam pengembaraannya untuk menjadi seorang sufi Abu Yazid memerlukan puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali al-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu-ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja, ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku. Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan dan minum.
     b.    Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Ajaran tasawuf Abu Yazid yang tepenting adalah fana’ dan baqa. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya’, yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (w.378 H/988M) mendefinisikannya, “Hilangnya semua hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan segala sesuatu secara sadar, dan ia telah menhilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.[38]
Fana’ adalah akhir dari perjalanan meuju Allah. Sementara itu baqa’ adalah adalah awal dari perjalanan menuju Allah (fana’) berakhir ketika, dengan ketulusan , sang penempuh jalan sufi mengarungi gurun pasir eksistensi.[39] Fana’ dapat di bagikan dalam dua jenis, pertama fana’ lahiriyah adalah fana’ dalam berbagai perbuatan Ilahi. Sang pemilik fana’ ini sedemikian tenggelam dalam perbuatan-perbuatan Ilahi sehingga ia hanya mengetahui perbuatan, kemauan, dan kehendak Allah. Yang kedua fana’ batiniah, ini adalah fana’ dalam sifat-sifat dan zat. Pemilik hal ini dalam pengungkapan sifat-sifat yang maha awal terkadang tenggelam dalam fana’ sifat-sifatnya sendiri. Karena tenggelam dalam fana’ dzat  yang mahaawal, ia tenggelam dalam dalam fana’ dzat wujud (Wujud Mutlak, Allah) hingga ketika eksistensi Allah memenuhi dirinya dan hatinya bersih dari segala godaan dan fikiran.[40]
Jalan menuju fana’, manurut Abu Yazid, dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia pernah melontarkan pertanyaan, “Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu”? Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah.” Abu Yazid pernah melontarkan kata ‘fana’ dan salah satu ucapannya: “Aku tahu kepada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tahu kepada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup.”
Adapun baqa’ berasal dari kata ‘baqiya’. Dari segi bahasa, artinya adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Faham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan faham fana’. Keduanya merupakan faham yang berpasangan. Jika sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’Ittihad adalah tahapan selanjutnya dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literature klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan.[41]
Namun karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan pertimbangan keselamatan sehingga akhirnya ajaran ini sangat sulit dipraktikan dan masih perlu pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu di analisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution, uraian tentang ittihad banyak terdapat dalam buku karangan orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad, identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Sufi bersangkutan, karena fana’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.[42]
Bahkan suatu ketika ada seseorang yang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “siapa yang engkau cari?” orang itu menjawab, “Abu Yazid” Abu Yazid berkata, “pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid, Kecuali Allah yang Mahakuasa."
Sepintas jika kita melihat jawaban Abu Yazid  maka menimbulkan pemikiran bahwa sesungguhnya dia adalah orang yang syirik karena telah menyekutukan Allah dengan dirinya, oleh karena itu dalam dalam sejarah pengajaran tasawufnya, tidak berkembang pesat seperti ajaran tasawuf lainnya, karena takut mengelabui orang awam, bahkan ada sebagian yang di tangkap dan di penjarakan karena hal tersebut.




BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa, Tasawuf irfani dalam pengajarannya tidak menekankan hanya pada pembahasan soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi. Sehingga dengan pernyataan ini maka setiap orang yang melakukan sesuatu, hanya untuk Allah semata sehingga tidak akan menimbulkan sesuatu yang di perhitungkan, baik secara materil atau psikis orang tersebut.
Tasawuf irfani mempunyai banyak tokoh yang mengisi pengajaran di dalamnya, diantara mereka Rabi’ah al-Adawiyah, yang tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabbah) kepada Allah. Dzu an-Nun al-Mishri, yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid al-Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’. al-Junaidi al-Baghdadi yag berusaha menjembatani antara syari’at dan hakikat. Abu Manshur al-Hallaj, dengan ajaran taswufnya yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.
       B.     SARAN
Setelah kita mengetahui tentang ajaran tasawuf irfani beserta tokoh-tokoh dan konsepnya hendaknyalah kita mengambil nilai positif dari pelajaran tersebut sehingga kita bisa menjadi pribadi yang lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan tidak terlalaikan oleh kenikmatan dunia yang menjerumuskan.










DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2009
Muhammad, Hasyim. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002.
Rusli, Ris’an. Tasawuf dan Tarekat.  Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Suhrawardi, Syihabuddin ‘Umar ibn Muhammad. A Darwish Textbook From The ‘Awarif al-Ma’arif, trj. Ilma Nugrahani Ismail, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

Susanto, Edi. Pengantar Filsafat Islam. Pamekasan: stainpamekasan_press, 2009.
Solichin, Mohammad Muchlis. pendidikan akhlak tasawuf.  t.t: suka-press, 2012.
Toriquddin, Moh. Sekularitas Tasawuf.. Malang: UIN-Malang Press, 2008.




LEMBAR KERJA
1.      Apakah yang di maksud dengan Tasawuf Irfani?
2.      Apa pokok pemikiran Rabi’ah Al-Adawiyah, dalam ilmu Tasawwuf?
3.      Berapakah pembagian Makrifah menurut Dzu An-Nun Al-Mishri? Sebutkan dan jelaskan.
4.      Jelaskan riwayat singkat kehidupan Abu Manshur Al-Hallaj.
5.      Apakah pendapat Al-Hallaj tentang al-hulul?
6.      -
7.      Apakah ajaran tasawwuf Abu Yazid AL-Bustomi yang terpenting? Sebutkan dan jelaskan.
8.      Sebutkan tiga simbol mahabbah menurut Al-Misri.




[1] Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm., 181. 
[2] Edi Susanto, Pengantar Filsafat Islam, (Pamekasan: Stainpamekasan Press, 2009), hlm., 60.
[3] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: cv pustaka setia, 2010), hlm., 253.
[4] Anwar, Akhlak, hlm. 254.
[5] Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 106.
[6] Ibid.
[7] Toriquddin, Sekularitas, hlm. 182.
[8] Ibid.
[9] Anwar, Akhlak, hlm. 255.
[10]  Anwar, Akhlak hlm. 257.
[11] Ibid. 258.
[12] Ibid.
[13] Toriquddin, Sekularitas, hlm. 185.
[14] Anwar, Akhlak, hlm. 259.
[15] Toriquddin, Sekularitas, hlm. 186.
[16] Mohammad Muchlis Solichin, pendidikan akhlak tasawuf, suka-pres, 2012. Hlm. 151.
[17] Anwar, Akhlak, hlm. 262.
[18] Ibid.
[19] Rusli, Tasawuf, hlm. 45.
[20] Ibid. 263.
[21] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset), hlm. 46.
[22] Ibid. 264.
[23] Solichin, pendidikan akhlak, hlm. 151.
[24] Toriquddin, Sekularitas, hlm. 188.
[25] Toriquddin, Sekularitas, hlm. 188.
[26] Ibid.
[27] Toriquddin, Sekularitas, hlm. 190.
[28] Ibid.
[29] Ibid. 189.
[30] Toriquddin, Sekularitas, hlm. 189.
[31] Anwar, Akhlak, hlm. 269.
[32] Anwar, Akhlak, hlm 270.
[33] Ibid. 271.
[34] Rusli, tasawuf, hlm, 118.
[35] Anwar, Akhlak, hlm. 274.
[36] Toriquddin, Sekularitas, hlm. 193.
[37] Ibid. 181.
[38] Anwar, Akhlak, hlm. 266.
[39] Syihabuddin ‘Umar ibn Muhammad Suhrawardi, A Darwish Textbook From The ‘Awarif al-Ma’arif, trj. Ilma Nugrahani Ismail, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 197.
[40] Ibid. 198.
[41] Anwar, Akhlak, hlm. 269.
[42] Ibid. 269.