TEORI MAQAMAT DAN AHWAL
MAKALAH
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf yang dibina oleh Bapak MOCH.
CHOLID WARDI,M.HI
Disusun Oleh :
1. Kholifah
2. Nur Aini
3. Agustine Safitri
4. Sabandia Nuriy Fillaili
5. Yuli Vinar Sida
1. Kholifah
2. Nur Aini
3. Agustine Safitri
4. Sabandia Nuriy Fillaili
5. Yuli Vinar Sida
PROGRAM
STUDI AKUTANSI SYARI’AH
JURUSAN
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur kita panjatkan kepada
Tuhan YME sebagai pencipta dan pengatur kehidupan di dunia karena hanya dengan
berkat rahmat dan karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami
berterimah kasih kepada Bapak MOCH CHOLID WARDI,M.HI selaku Dosen mata kuliah
Akhlak tasawwuf yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini
dapat berguna dalam rangkah menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai
Teori tentang Maqamat (tingkatan ) dan Ahwal (kondisi) dalam tasawwuf. Kami
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan
kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap
adanya kritik saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun. Semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Wassalamualaikum
Wr.Wb.
Pamekasan, 18 september 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
SAMPUL
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 5
A. Latar
Belakang....................................................................................... 5
B. Rumusan
Masalah................................................................................... 5
C. Tujuan
Penulisan..................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 6
A. Pengertian
Maqamat dan Maqam............................................................ 6
B. Pengertian
Ahwal………………………………………………............ 6
C. Bagaimana
struktur Maqamat.................................................................. 9
D. Bagaimana
struktur Ahwal..................................................................... 15
BAB III PENUTUP............................................................................................... 22
A. Kesimpulan............................................................................................ 22
B. Saran..................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 23
LEMBAR
KERJA…………………………………………………………........ 24
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Tinjauan analitis terhadap
tasawwuf menunjukkan bagaimana para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya
memiliki suatu konsepsi tentang jalan menuju Allah jalan ini dimulai dengan
latihan-latihan (riyadhah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase
yang dikanal dengan maqam (tingkatan), kepada Allah dan Hal (keadaan), yang
berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat Ma’rifat pada
umumnya banyak dikejar oleh para sufi diwujudkan oleh malan-amalan dan metode
tertentu yang disebut Tariqhat, atau jalan dalam rangka menemukan
pengenalan Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh Ma’rifat yang
berlaku dikalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka irfani.
Lingkup irfani tidak dapat
dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang
panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (Tingkatan atau stasiun) dan
Ahwal (jamak dari hal) dua persoalan ini harus dilewati oleh orang-orang yang
berjalan menuju Tuhan,
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Pengertian Maqamat dan Maqam?.
2.
Pengertian Ahwal?.
3.
Bagaimana Struktur Maqamat?.
4.
Bagaimana struktur Ahwal?.
C. TUJUAN
PENULISAN
1.
Untuk mengetahui pengertian Maqamat dan Maqam?.
2.
Untuk mengetahui pengertian Ahwal?.
3.
Untuk mengetahui bagaimana struktur Maqamat?.
4.
Untuk mengetahui bagaimana struktur Ahwal?.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Maqamat dan Maqam
Maqamat
Maqamat
adalah bentuk jamak dari maqam. Maqam secara riteral berarti
tempat berdiri, station, tempat, lokasi, posisi, atau tingkatan.
Secara terminologis berarti kedudukan
spiritual. Dalam Al-qur’an, kata maqam,
yang berarti tempat, disebutkan beberapa kali dengan kandungan makna yang
abstrak (bersifat spiritual) dan kongkrit
(bersifat fisik dan material).
Secara terminologis kata maqam dapat ditelusuri pengertiannya dari
pendapat para sufi. Pendapat mereka memang berbeda satu sama lain secara
bahasa, namun secara subtansi memiliki pemahaman yang relatif sama.
Maqam adalah tahapan adab (etika)
seorang hamba dalam rangka wusbul
(sampai) kepada-Nya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan
pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing berada dalam tahapannya sendiri
ketika dalam kondisi tersebut, serta latihan-latihan spiritual (riyadhab) menuju kepada-Nya.[1]
B.
Pengertian
Ahwal
Ahwal adalah jamak dari hal yang berarti “keadaan”. Hal adalah
keadaan atau peristiwa yang dialami oleh kaum sufi ketika ia menempati maqam tertentu. Hal datang dengan
sendirinya, datang dan pergi tanpa di ketahui waktunya. Dengan demikian hal adalah pemberian dari Allah ketika
sang sufi menepaki jalan menuju Allah.
Dalam ilmu Tasawuf dikenal beberapa hal
yaitu waspada dan mawas diri, (Muhabbah Muraqabah), kehampiran dan
kedekatan (Qarb), cinta (Hubb), takut (Khauf), rindu (Syauq),
intim (Uns) tenteram (Tuma’ninah) penyaksian (Musyahadah),
dan yakin.[2]
1. Mawas
diri dan waspada (Muhabbah Muraqabah)
Kaum sufi menyebutkan berbarengan
terhadap kedua istilah ini mengingat keduanya saling berkaitan erat. Ketika
seorang sufi
selalu mawas
diri, bercermin pada diri sendiri, mencari kesalahan dan kekhilafan diri
sendiri, maka akan malahirkan sikap waspada agar kesalahan dan kehilafan yang
pernah dilakukannnya tidak dilakukan lagi
Mawas diri diartikan sebagai keyakinan
bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan dan rahasia dalam hati, dan
hal ini menjadikan seseorang takut, hormat dan taat kepada Allah. Sedangkan waspada diartikan sebagai upaya untuk
meneliti diri sendiri apakah perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya telah
sesuai atau bertentangan dengan
ketentuan Allah.
2. Mengharap dan takut (Al-raja’
wa
al-khauf)
Dalam pandangan kaum sufi sifat mengharap dan takut berjalan
secara berbarengan. Raja’
adalah perasaan optimis terhadap rahmat Allah, dan hati merasa tenteram karena
menunggu suatu yang diinginkan. Namun sikap mengharap itu diikuti oleh perasaan
takut terhadap berbagai kemungkinan yang akan membawa kebencian Allah.
Dalam kaitan ini, Ibn Taymiyah
menjelaskan bahwa “Rahmat Allah” merupakan nama dari semua kebaikan, sedangkan
“adzabnya” merupakan nama dari segala kejelekan. Rumah kasih sayang yang asli
adalah Surga dan rumah
adzab yang sesungguhnya adalah Neraka. Sedangkan dunia ini merupakan perpaduan
antara keduanya. Seorang yang mengharapkan Surga berarti ia mengharapkan
kenikmatan dan kenikmatan yang tertinggi adalah melihat Allah.[3]
Selanjutnya Ibnu Taimiyah menjelasakan
bahwa Raja’ wa al khauf merupakan konsekuensinya dari cinta hamba kepada
Allah. Ini mengajarkan bahwa dengan cinta kepada Allah, akan menumbuhkan sikap
harap-harap cemas kepada Allah, yaitu sikap mengharap akan nikmatnya.
Ajaran al Qur’an yang
membahas raja’ dengan firmannya :
ان الله يغفر الذنوب جميعا ۚ انه هو الغفور الرحيم
“Sesungguhnya
Allah mengampuni dosa-dosa seluruhnya. Sesungguhnya Dia
maha Pengampun dan maha Penyayang.” (Az-zumar:53)
Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu: 1) cinta kepada apa
yang diharapkan, 2) takut bila harapannya hilang, 3) berusaha mencapainya
3. Hubb (cinta)
Cinta
dalam ilmu tasawuf adalah pijakan dalam semua hal, sama dengan taubat yang
merupakan pangkal dari semua maqam. Menurut Mu’jam al Falsafi, mahabbah dapat
berarti Al-Wadud yaitu
yang sangat pengasih dan penyayang.
Keterkaitan dengan Allah diwujudkan
dengan keadaan hati yang selalu bersama Allah dalam kesemua keadaan dan prilaku
seseorang. Ini diwujudkan ketika seseorang merasa mendapat keasyikan,
kenikmatan ketika ia beribadah dengan Allah. Dengan kondisi ini, ia akan merasa
mendapatkan ketentraman dan kenikmatan yang luar biasa jika beribadah kepada
Allah, yang diaktualisasikan dengan begitu intensnya ia beribadah kepada-Nya. Dalam setiap waktu, hidupnya
selalu diperuntukkan untuk beribadah dan mengingat-Nya.
Sedangkan merasa menjadi budak Allah,
ia akan menuruti segala sesuatu yang mengakibatkan kesenangan dan keridhaan
Allah. Manusia yang mencapai tingkatan ini, ia
akan melaksanakan suatu perbuatan untuk mendapatkan keridhaan-Nya, dan
menghindari dari segala perbuatan yang menyebabkan Allah benci atau murka
kepadanya.[4]
Di
samping itu, perasaan menjadi budak juga mengakibatkan adanya perasaan merendah
dan hina di hadapan Allah. Kondisi ini menghasilkan suatu sikap hari yang
selalu merasa dirinya rendah dan hina di hadapan kekuasaan dan kehebatan Allah.
4. Rindu dan Intim (Syauq wa al uns)
Dalam ajaran tasawuf disebutkan bahwa
seorang sufi
selalu merasa rindu dalam jiwanya kepada Allah dalam pandangan sebagian sufi menyatakan bahwa mata adalah bukti
yang benar ketika seorang sufi
merasakan rindu kepada-Nya, dan melupakan Allah adalah lebih berbahaya dari
kematian. Bagi mereka, kematian adalah sarana untuk berrtemu dan melepaskan kerinduan
dengan Allah, karena kehidupan adalah perintah pertemuan dengan Allah.
Intim merasa selalu berteman,
bercengkrama dengan Allah. Seorang sufi
yang memiliki perasaan intim berhubungan dengan Allah dengan penuh keasyikan
dan kenyamanan. Mereka beribadah dengan penuh ketentraman dan ketenangan yang
tiada bandingannya. Perasaannya selalu bersama dan berteman dengan Allah, yang hal itu dapat menghilangkan
ingatannya kepada selain Allah.[5]
C.
Struktur
Maqamat
Dalam rangka meraih derajat kesempurnaan,
seorang sufi dituntut untuk melampaui tahapan-tahapan spiritual yang dalam tradisi
tasawuf dikenal dengan Maqamat. Yakni struktur nilai yang harus menginternal
dalam diri seorang sufi.
Adapun tujuan akhir dalam perjalanan
spiritual tersebut adalah kemurnian tauhid (Shafa al-Tauhid). Yakni penegasan
terhadap kesaksian seorang muslim yang berupa pengucapan kalimat syahadat, la
ilaha illa allah, sebuah pengakuan bahwa tidak ada tuhan selain allah.[6]
Pengakuan tidak ada tuhan selain Allah (la ilaha illa allah)
mengandung dua komitmen yang berupa negasi (la ilaha)
dan afirmasi (illa allah).
Dua komitmen inilah yang mendasari struktur maqamat, sehingga secara general struktur
maqamat yang ada merupakan refleksi dari
dua komitmen tersebut. Misalnya, Maqam
Taubah, Wara’, Zuhd, dan Faqr merupakan refleksi dari
negasi, atau yang disebut juga
dengan Takhalli.
Sedangkan maqam
Sabr, Tawakkal dan Ridha merupakan refleksi dari komitmen affirmatif
atau juga disebut Tahalli. Adapun uraian mengenai maqamat tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
Taubah
Sebagai awal dari perjalanan yang harus
dilakukan oleh seorang Sufi ialah maqam taubah. Yakni upaya pengosongan diri dari
segala tindakan yang tidak baik dan mengisinya dengan yang baik. Makna taubah yang sebenarnya adalah penyesalan
diri terhadap segala perilaku jahat yang telah dilakukan di masa lalu.
Selanjutnya seorang yang bertaubah dituntut untuk menjauhkan diri dari segala
tindakan maksiat dan melenyapkan semua
dorongan nafsu amarah yang dapat mengarahkan seseorang kepada tindak kejahatan.
Dalam tradisi tasawuf, taubah
dikategorikan dalam tiga tingkatan, pertama, taubah bagi kalangan awam. Yakni
taubah pada tingkatan yang paling dasar. Di mana seseorang yang melakukan
taubah dituntut untuk memenuhi persyaratan yang paling minimal. Yaitu menyesali
segala perilaku kesalahan yang telah dilakukan, dengan sepenuh hati, serta meninggalkn
perilaku kesalahan tersebut untuk
selama-lamanya. Lebih dari itu, juga harus diikuti dengan kenyakinan untuk
tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Jika perilaku kesalahan tersebut
berhubungan dengan sesama manusia, maka dia harus meminta maaf kepada yang bersangkutan. Dan apabila
berkaitan dengan harta benda, ia harus mengembalikannya. Dengan kata lain, taubah pada tingkatan
pertama berarti kembali dari kemaksiatan atau kejahatan menuju kebaikan.[7]
Pada tingkatan kedua, taubah berarti
kembali dari yang baik menuju yang lebih baik. Seorang yang bertaubah pada
tingkatan ini, dituntut untuk kembali dari perbuatan yang lebih baik menuju
yang terbaik. Dalam dirinya ada semangat untuk senantiasa meningkatkan kadar
kebaikan dan ketaatannya untuk menjadi lebih baik lagi dan lebih taat lagi.
Adapun taubah yang ketiga yaitu kembali
dari yang terbaik menuju kepada Allah. Pada tingkatan ini seorang yang
bertaubah akan berbuat yang terbaik dengan tanpa motivasi apapun kecuali karena
Allah dan untuk Allah. Seorang yang pada tingkatan ini secara otomatis adalah
orang yang mencapai derajat wara’.
2. Wara’
Dalam tradisi sufi yang dimaksud dengan wara’
adalah meninggalkan segala sesuatu yang
tidak jelas atau belum jelas hukumnya (subhat). Hal ini berlaku pada
segala hal atau aktifitas kehidupan manusia, baik yang berupa benda maupun
perilaku seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk,
berdiri, bersantai bekerja dan lain-lain.
Di samping meninggalkan segala sesuatu
yang belum jelas hukumnya, dalam tradisi sufi wara’
juga berarti meninggalkan segala hal yang berlebihan, baik berwujud benda
maupun perilaku. Lebih dari itu juga meninggalkan segala hal yang tidak
bermanfaat, atau tidak jelas manfaatnya.
Lebih lanjut para ahli tasawuf juga
membagi Wara’ pada dua bagian. Yaitu Wara’ yang bersifat
lahiriyah dan Wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah berarti
meninggalkan segala hal yang tidak diridhai oleh Allah, sedangkan Wara’ batiniyah berarti tidak mengisi atau
menempatkan sesuatu di hatinya kecuali Allah.
3. Zuhd
Dalam pandangan kaum sufi, dunia dan
segala isinya adalah merupakan sumber kemaksiatan dan kemungkaran yang dapat
menjauhkannya dari Tuhan.[8]
Karena hasrat, keinginan dan
nafsu seseorang sangat berpotensi untuk menjadikan kemewahan dan
kenikmatan duniawi sebagai tujuan hidupnya, sehingga memalingkannya dari Tuhan.
Oleh karena itu, maka seorang sufi dituntut untuk terlebih dahulu memalingkan seluruh
aktifitas jasmani dan rohaninya dari hal-hal yang bersifat duniawi. Dengan
demikian segala apa yang dilakukannya dalam kehidupan tidak lain hanyalah dalam
rangka mendekatkan diri pada Tuhan. Perilaku seperti inilah yang dalam
terminologi sufi disebut dengan Zuhd. Meskipun banyak pengertian yang
diberikan oleh para ulama tentang zuhd. Namun, seluruh ungkapan para
mengarah pada pengertian diatas.
4. Faqr
Di antara para sufi, ada yang memberikan
pemaknaan secara ekstrim dan ada pula yang bersifat moderat. Pemaknaan Faqr
secara ekstrim antara lain sebagaimana dikemukakan oleh Yahya bin Mu’adh yang
menyatakan bahwa kefakiran adalah bahwa seseorang tidak butuh lagi selain
Allah, dan tanda kefakiran adalah tidak adanya harta benda
Pandangan yang lebih ekstrim lagi
dikemukakan Ibnu Jalla’, bahwa kemiskinan adalah jika tak ada lagi sesuatu pun
dari semua yang dimiliki tersisa. Karena jika masih memiliki, berarti tidak
disebut miskin. Dan jika ia tidak lagi memiliki sesuatu, maka dia memiliki
sebutan miskin itu.
Di samping pengertian yang ekstrim, banyak pula yang memberikan
penjelasan mengenai Faqr, yang bersifat moderat. Antara lain adalah
pandangan yang menyatakan bahwa Faqr adalah butuh kepada Allah. Faqr
yang di maksud di sini adalah kefakiran spiritual. Sehingga ia tidak memiliki
apa-apa termasuk dirinya sendiri. Faqr juga berarti kesadaran bahwa Allah Maha berdiri sendiri dan tidak memiliki apapun
bahkan dirinya sendiri adalah menjadi milik Allah.[9]
Dari banyak pendapat mengenai Faqr di
atas, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya para sufi memandang Faqr
sebagai sebuah sikap hidup yang tidak terlalu berlebihan atau memaksakan diri
untuk mendapatkan sesuatu. Tidak menuntut lebih dari apa yang
telah diterima kepadanya. Karena pada dasarnya segala sesuatu yang ada di alam
semesta ini adalah menjadi milik Allah.
5.
Shabr
Pada dasarnya kehidupan manusia di dunia adalah perjalanan jauh menuju Allah.
Sebelum melakukan perjalan jauh manusia telah di tempatkan oleh Allah dalam
wilayah asalnya yang suci. Wilayah di mana manusia telah melakukan persaksian
bahwa ia adalah hamba Allah yang diciptakan untuk melakukan tugas yang berwujud
pengabdian kepadanya. Dan manusia telah menerima persaksian itu dengan
sepenuhnya.
Agar manusia senantiasa menempatkan akal
sebagai dorongan yang mendominasi kehendak dan perilakunya, maka diperlukan
kesabaran (Shabr).
Dengan kata lain kesabaran adalah kendaraan bagi orang-orang yang menghendaki
kebaikan. Sahabat ali r.a. menyatakan; “Allah menyayangi seseorang yang
menggunakan kesabaran sebagai kendaraan.’’Artinya jika seseorang menghendaki
perjalanannya sampai ke tujuan, yakni Allah maka diperlukan kesabaran sebagai
alatnya.
Sedemikian pentingnya sabar dalam
kehidupan manusia, maka para sufi menjadikan sabar sebagai maqam yang
teramat penting untuk dilalui dalam
perjalanan spiritualnya. Ada banyak ungkapan para sufi mengenai makna kesabaran
(Shabr). Al-ghazali mengatakan bahwa sabar adalah; “memilih untuk
melakukan perintah agama ketika datang desakan nafsu.’’ Sabar juga bermakna
ketundukan secara total terhadap kehendak Allah. Al-Ghazali lebih lanjut
menyatakan bahwa sabar adalah kondisi jiwa yang timbul karena dorongan
keimanan. [10]
6.
Tawakkal
Tawakkal pada dasarnya adalah merupakan
konsekuensi logis dari maqam shabr. Oleh karenanya, maka seorang yang
mencapai sekuensi logis dari maqdar shabr. Oleh karenanya, maka seorang
yang mencapai derajat shabr, dengan sendirinya adalah seorang yang telah
mencapai derajat tawakkal.
Ada banyak pendapat mengenai tawakkal. Antara lain pandangan yang
menyatakan bahwa tawakkal adalah memotong hubungan hati dengan selain Allah.
Sahl bin Abdullah menggambarkan seorang yang tawakkal di hadapan Allah adalah
seperti orang mati di hadapan orang yang memandikan, yang dapat membalikkannya
kemanapun ia mau. Menurutnya, tawakkal adalah terputusnya kecenderungan hati
kepada selain Allah.
Sebagai mana juga istilah-istilah lain,
para ahli juga banyak memberikan definisi tawakkal beserta batasan-batasannya.
Atas dasar inilah maka Dr.Yusuf Qardhawi cenderung mendefinisikan tawakkal, bukan pada kedalamannya namun pada
kulit luarnya. Karena pembicaraan tentang kedalaman mana tawakkal ada pada pengalaman pribadi
masing-masing sufi. Dia mendefinisikan tawakkal dari makna dasarnya, yakni
menyerahkan dengan sepenuhnya. Sehingga seseorang yang telah menyerahkan
sepenuhnya kepada Allah, tidak akan
ada keraguan tentang apapun yang menjadi keputusan Allah.
7. Ridha
Ridla adalah merupakan buah dari tawakkal. Di mana jika seorang sufi telah
benar-benar melaksanakan tawakkal maka dengan sendirinya ia akan sampai pada
maqam
ridla. Sebagian ulama berpendapat bahwa ridla adalah termasuk Ahwal, bukan muqamat.
Karena ia tidak berasal Kasbi (diupayakan). Namun ia adalah karunia yang
diberikan oleh Allah sebagai buah dari tawakkal.[11]
Dzunnun al-Mishri berpendapat, bahwa ridha
adalah menerima tawakkal dengan kerelaan hati. Adapun tanda-tandanya adalah
mempercayakan hasil pekerjaan sebelum datang ketentuan, tidak resah sesudah
terjadi ketentuan dan cinta yang membara ketika tertimpa malapetaka.
Dari uraian di atas dapat diambil
kesimpulan, bahwa ridha adalah kondisi kejiwaan atau sikap mental yang
senantiasa menerima dengan lapang dada atas segala karunia yang diberikan atau
bala yang ditimpakan kepadanya. Ia akan senantiasa merasa senang dalam setiap
situasi yang meliputinya. Sikap mental semacam ini adalah merupakan maqam
tertinggi yang di capai oleh seorang sufi.
D.
Struktur ahwal
1. Muraqabah
Muraqabah merupakan bentuk hal yang
sangat penting, karena pada dasarnya segala perilaku peribadatan adalah dalam
rangka muraqabah atau mendekatkan diri pada Allah. Dengan kata lain muraqabah
juga dapat diartikan sebagai kondisi kejiwaan. Dimana seseorang individu
senantiasa merasakan kehadiran Allah, serta menyadari sepenuhnya bahwa Allah
selalu mengawasi segenap perilaku hambanya. Dengan kesadaran semacam ini,
seorang hamba akan selalu mawas diri, menjaga diri untuk tetap pada kualitas
kesempurnaan penciptaannya.
Al-Qusairy menyebutkan bahwa seorang
bisa sampai pada keadaan muraqabah, jika ia telah sepenuhnya melakukan
perhitungan atau analisis terhadap perilakunya dimasa lalu dan melakukan
perubahan-perubahan menuju perilaku yang lebih baik. Seorang yang muraqabah
berarti menjaga diri untuk melakukan yang terbaik sesuai dengan kodrat
eksistensinya.[12]
Kedisiplinan
ini yang akan mengantar seseorang menuju keadaan yang lebih baik dan menuju
kebahagiaan yang hakiki dan lebih baik. Sementara ketidak disiplinan di
tunjukkan dengan sikap sembarangan serta mudah terlena dengan
kenikmatan-kenikmatan duniawi yang misbi dan fana, yang akan dapat mendorong
menuju kejatuhan pada jurang kehinaan.
2. Muhabbah
Muhabbah sebagai bagian dari Maqamat
tertinggi yang merupakan puncak pencapaian para sufi dimana keseluruhan jenjang
yang dilalui bertemu dalam maqam muhabbah.
Muhabbah (cinta), mengandung arti keteguhan dan
kemantapan. Seorang yang sedang dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan
beralih atau berpaling pada sesuatu yang lain. ia senantiasa teguh dan mantap,
serta senantiasa mengingat dan memikirkan yang di cinta. Al-Junaidi ketika ditanya tentang cinta
menyatakan bahwa seseorang yang sedang di landa cinta akan dipenuhi oleh
ingatan pada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatan
pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri.
Cinta juga dikemukakan oleh ibnu
Al-Arabi, bahwa muhabbah adalah bertemunya dua kehendak, yakni kehendak
Tuhan dan kehendak manusia. Kehendak Tuhan, yakni kerinduannya untuk bertajalli
dengan alam, sedangkan kehendak manusia adalah kembali pada esensinya sebagai
wujud mutlak” kesempurnaan manusia (insan kamal), menurut ibnu Al-Arabi sangat
ditentukan oleh kesadaran manusia akan eksistensi dirinya sebagai satu kesatuan
dengan eksistensi Tuhan”.
Kesadaran
cinta mengimplikasikan sikap pencipta yang senantiasa konsisten dan penuh
konsentrasi terhadap apa yang dituju dan diusahakan, karena segala sesuatunya dilakukan
dengan penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa ada perasaan terpaksa dan
tertekan.[13]
Kesadaran cinta juga berimplikasikan terhadap diri
seseorang pencinta dengan sikap penerimanya terhadap segala apa yang ada dan
terjadi di alam semesta. Sehingga segala sesuatu, baik yang bersifat positif
yang berwujud kebaikan maupun negatif yang berbentuk kejahatan dan kekurangan,
semua diterima dengan lapang dada.
3.
Khauf
Khauf (takut)
terkait dengan
kejadian yang akan datang. Yakni akibat datangnya
sesuatu yang di benci dan sirnanya sesuatu yang di cintai. Takut kepada Allah berarti takut terhadap
hukum-hukumnya baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sebagaimana firman
Allah, yang artinya: “maka takutlah
kepada-ku jika kamu orang-orang yang beriman.” Dalam ayat lain juga
diungkapkan oleh Ibnu Jalla’,
yang artinya” mereka menyeru kepada tuhan
dengan penuh rasa takut dan harap.”
Banyak sekali ungkapan yang memberikan penjelasan
tentang khauf (takut). Yakni antara lain ungkapan Abu Hafs yang menyatakan
bahwa takut adalah pelita hati, dan dengan takut baik dan buruk hati seseorang
akan tampak. Sementara Abu Umar Al-dimasyqi menegaskan, bahwa orang yang
takut adalah yang takut akan dirinya sendiri, bahkan lebih takut dari takutnya
pada setan. Ibnu Jalla’
berpandangan, bahwa manusia yang takut (kepada Allah) adalah yang dirinya
merasa aman dari hal-hal yang membuatnya takut.
Memang, perasaan takut ini sangat sulit untuk bisa
dipahami oleh seseorang dengan kasat mata. Karena hal ini sangat terkait dengan
pengalaman keberagamaan seseorang yang bersifat pribadi. Sehingga dikatakan
oleh Ibnu Iyadh bahwa hanya mereka yang termasuk
golongan orang-orang yang takutlah yang dapat melihat orang yang takut. Ia
mengibaratkan seorang ibu yang sedih karena kehilangan anaknya, yang hanya bisa
dipahami kesedihannya oleh ibu yang kehilangan anaknya pula.[14]
perasaan
ini akan secara otomatis memberikan dorongan untuk melakukan yang terbaik,
sehingga pada masa mendatang ia akan menerima akibat yang baik pula. Seorang
diliputi oleh perasaan takut (khauf),
hanya akan melakukan tindakan yang seharusnya ia lakukan untuk kebaikan dalam
jangka panjang jika depan, bukan sekedar karena keinginan-keinginan nafsunya
atau kepentingan-kepentingan sesaat. Dengan kata lain, seorang yang khauf (takut), adalah mereka yang berpikiran
luas dan dalam jangka panjang ke depan, bukan sosok yang berpikiran sempit dan
untuk kepuasan sementara.
4. Raja’
Sebagaimana halnya dengan Khauf (takut), Raja’ (harapan) adalah keterikatan hati
dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang. Al-Qusyairi
membedakan antara harapan (raja’) dengan angan-angan Tamanni. Raja
bersifat aktif, sementara tamanni bersifat pasif. Seorang yang mengharapkan
sesuatu akan berupaya semaksimal mungkin untuk meraih dan merealisasikan
harapan-harapannya. Sementara orang-orang yang mengangan-angankan sesuatu hanya
berdiam diri dan tidak melakukan apapun yang dapat mengantarkannya untuk mendapatkan
yang di angan-angankan.
Ibnu Khubaiq
membagi harapan menjadi tiga: 1. Manusia yang melakukan amal kebaikan , dengan harapan amal baiknya
akan diterima oleh Allah; 2. Manusia
yang melakukan amal buruk, kemudian bertaubat dengan harapan akan mendapatkan
ampunan dari Allah.
3. Orang yang menipu diri dengan terus menerus melakukan kesalahan dengan
mengharapkan ampunan.
Harapan (raja’)
akan membawa seseorang pada perasaan
optimis
dalam menjalankan segala aktifitasnya.[15]
Serta
menghilangkan segala keraguan yang menyelimutinya. Dengan demikian, ia akan
melakukan segala aktifitas terbaiknya dengan penuh keyakinan.
5. Shauq
Rindu (Shauq) merupakan luapan perasaan
seorang individu yang mengharapkan untuk senantiasa bertemu sesuatu yang di
cintai. Luapan perasaan kerinduan terhadap sesuatu akan menghapuskan segala
sesuatu selain yang dirindukan. Begitu pula seorang hamba yang dilanda kerinduan
pada Allah. Akan
terlepas dari segala hasrat selain Allah. Oleh karenanya sebagai bukti dari
perasaan rindu (Shauq) adalah terbebasnya diri seseorang dari hawa
nafsu.
6. Uns
Perasaan
sukacita (Uns) merupakan kondisi kejiwaan, di
mana seseorang merasakan kedekatan dengan tuhan. Atau dalam pengertian lain di
sebut sebagai pencerahan dalam kebenaran. Seorang yang ada pada kondisi uns
akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan serta sukacita yang
meluap-luap. Kondisi kejiwaan seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika
merasakan kedekatan dengan Allah. Yang mana, hati dan perasaannya diliputi oleh
cinta, keindahan serta kasih sayang yang luar biasa, sehingga sangat sulit
untuk dilukiskan.
Keadaan
semacam ini dapat dialami oleh seorang sufi dalam situasi tertentu, misalnya
ketika menikmati keindahan alam,
keluasan bacaan, atau merdunya alunan musik, yang mana dalam situasi tersebut
seorang sufi benar-benar merasakan keindahan Allah. Tentu saja antara individu
satu dengan individu yang lain memiliki
pengalamannya sendiri-sendiri dengan muatan dan rasa yang bersifat pribadi,
sehingga tidak dapat di gambarkan dengan jelas oleh orang lain.[16]
7. Tuma’ninah
Tuma’ninah
adalah keteguhan atau ketenteraman hati dari segala hal yang dapat
mempengaruhinya. Hal ini didasarkan pada firman Allah, yang artinya: “orang-orang yang beriman dari tenteram
hatinya dengan mengingat Allah, ingatlah bahwa dengan mengingat Allah hati bisa
menjadi tenteram.”
Ibnu
Qayyim menukil
sebuah hadist yang menyatakan: “kebenaran adalah identik dengan ketenteraman
sedangkan kebohongan adalah identik
dengan keraguan.”Yang dimaksud disini adalah bahwa kebenaran dapat memenangkan
hati yang mendengarkan. Sedangkan kebohongan akan dapat menggoyahkan dan
meragukan. Dalam sabdanya yang lain Nabi menyatakan: “kebenaran adalah sesuatu
yang memenangkan hati” yakni akan memberikan ketenangan dan menghilangkan
keraguan dan kegoyahan.”
Ibnu
Qayyim membagi tuma’ninah dalam tiga tingkatan: pertama, ketenangan hati dengan mengingat Allah, yakni ketenteraman seorang yang takut (kepada Allah)
pada raja’, dan ketenteraman
orang yang tertimpa bala pada karunia. Kedua, ketenteraman jiwa pada kashf, ketenteraman perindu pada batas penantian, dan
ketenteraman perpisahan
pada pertemuan. Ketiga, ketenteraman menyaksikan Tuhan pada kelembutan
kasihnya, ketenteraman pertemuan pada Baqa’ (keabadian), dan
ketenteraman maqam pada cahaya keabadian. Ketiga tingkatan ini berkaitan dengan
konsep fana’ dan baqa’.
8. Musyahadah
Penjelasan
mengenai Musyahadah sering dikaitkan dengan uraian tentang Muhadharah
dan Mukasyafah. Muhadharah berarti kehadiran kalbu dan Mukasyafah
adalah kehadiran kalbu dengan sifat nyatanya, sedangkan Musyahadah
adalah kehadiran al-haqq dengan tanpa dibanyangkan.[17]
Al-Junaidi
memberikan penjelasan bahwa seorang ada dalam tahapan muhadharah selalu terikat
dengan sifat-sifat Tuhan. Orang yang mukasyafah terhampar oleh sifat-sifat
Tuhan. Sedangkan orang yang musyahadah ditemukan dzat Tuhan. Orang yang ada
pada puncak musyahadah, kalbunya
senantiasa dipenuhi oleh cahaya-cahaya ketuhanan, sehingga ibarat kilatan
cahaya di malam hari yang tiada putus sama sekali, sehingga malam pun laksana
siang hari yang nikmat. Begitulah gambaran orang yang diselimuti cahaya
ketuhanan dalam musyahadah.
9. Yaqin
Al-Yaqin dalam terminologi sufi adalah
merupakan perpaduan antara ilmu Al-Yaqin,
Ain
Al-Yaqin
dan Haqq
Al-Yaqin
dalam terminologi para ulama adalah sesuatu yang ada dengan syarat adanya
bukti. Sedangkan Ain
Al-Yaqin,
sesuatu yang ada dengan disertai kejelasan. Haqq Al-Yaqin
adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang menyertai kenyataannya.
Ilm,
Al-Yaqin,
dibutuhkan untuk mereka yang cenderung rasional. Ain Al-Yaqin, bagi para ilmuan.
Sedangkan Haqq
Al-Yaqin,
bagi orang-orang yang ma’rifah.
Jelasnya,
Al-Yaqin
adalah sebuah kepercayaan yang kuat dan tak tergoyahkan tentang kebenaran
pengetahuan yang dimiliki, karena penyaksiannya dengan segenap jiwanya dan
dirasakan oleh seluruh ekspresinya, serta di saksikan oleh segenap
eksistensinya.
Dari
keseluruhan uraian diatas menunjukkan bahwa secara teoritis para ahli tasawuf
sepakat dengan konsep ahwal dan maqamat. Namun, pada tataran interpretatif,
para ahli tasawuf memiliki uraian tersendiri berdasarkan pengalaman
masing-masing. Karena, pada dasarnya pencapaian maqamat dan ahwal adalah
merupakan pengalaman spiritual yang bersifat pribadi, sehingga yang mengetahui
secara persis adalah sufi yang mengalaminya secara langsung.[18]
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Antara
maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata
uang. Keterkaitan antara keduanya dapat di lihat dalam kenyataan bahwa maqam
menjadi persyaratan menuju tuhan, dan bahwa dalam maqam akan ditemukan
kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang
untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya.
SARAN
Untuk
memahami ilmu tasawuf khususnya dalam maqamat dan ahwal, hendaknya tidak hanya
tertumpu pada satu literatur saja. Oleh karena itu makalah ini semoga menjadi
pemacu penyusun khususnya dan penyusun berikutnya pada umumnya untuk lebih
mendalami ilmu tasyawuf, sehingga apa yang sudah dijelaskan dalam makalah ini
bisa di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih baik sesuai dari
tujuan ilmu tasyawuf itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Diwan Syamsi
Tabriz, Tasawuf Mendamaikan Dunia. Penerbit
Erlangga, 2010.
Dr. H. Mohammad Muchlis Solichin, M.Ag, Akhlak dan Tasawuf. Penerbit Buku Pena
Salsabila, 2014.
Muhammad Hasyim, Tasawuf
dan Psikologi.. Pustaka Pelajar,
2002.
LEMBAR KERJA
1. Dalam
ilmu tasawuf dikenal beberapa hal yaitu waspada dan mawas diri jelaskan yang
dimaksud dengan mawasdiri ?
2.
Di dalam ahwal terdiri hal-hal yang
diketahui salah satunya Mengharap dan takut (al-raja’ wa al-khauf) coba
jelaskan apa yang dimaksud dengan al-raja’ wa al-khauf menurut Ibnu Taimiyah ?
3. Sebutkan
tiga perkara Al-Raja’ di dalam ahwal ?
4. Jelaskan
tujuan akhir dalam perjalanan spiritual struktur maqamat ?
5. Sebutkan
struktur ahwal yang anda ketahui ?
6. Coba
anda jelaskan mengenai musyahadah yang sering dikaitkan dengan uraian tentang
muhadharah dan mukasyafah di dalam struktur ahwal ?
7. Apakah
maqam dan hal bisa di dipisahkan ! jika iya atau tidak berikan alasannya ?
No comments:
Post a Comment