TASAWUF AKHLAKI
KONSEP dan TOKOHNYA
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
matakuliah Akhlaq Tasawuf
yang dibina oleh Bapak MOCH.
CHOLID WARDI, M.H.I.
Disusun Oleh:
JANNATUL HASANAH (23)
KARIMATUL HASANAH (24)
LAILIYATUL KAROMAH (25)
NANIK HIDAYATI (30)
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN
BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini dengan lancar dan tepat pada waktunya, semoga
apa yang kita lakukan bisa mendapat balasan yang setimpal dari Allah.
Maha suci Allah yang telah mempermudah
segala urusan kita semua, tampa seizinnya kami tidak akan bisa mengerjakan
segala sesuatu. Dan khususnya, kami (penyusun) bisa menyelesaikan Makalah ini
dengan judul Tasawuf Akhlaki. Makalah ini dibuat sebagai tugas kelompok yang
akan dikumpulkan dan di presentasikan.
Keberhasilan makalah ini tidak lain juga
di sertai referensi-referensi serta bantuan dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Penyusun makalah ini juga di maksudkan untuk menambah wawasan mahasiswa
mengenai materi ini.
penyusun menyadari makalah ini memiliki
banyak kekurangan, karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca demi perbaikan dan sekaligus memperbesar manfaat
makalah ini sebagai pembelajaran.
Pamekasan, 06 Oktober 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
SAMPUL
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
A. Latar
Belakang..................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah............................................................................... 1
C. Tujuan
Penulisan.................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 2
A. Sejarah Perkembangan Tasawuf Akhlaki........................................... 2
B. Konsep Akhlak Tasawuf .................................................................... 5
C. Tokoh-Tokoh Akhlak Tasawuf Akhlaki............................................. 8
BAB III PENUTUP............................................................................................... 15
A. Kesimpulan......................................................................................... 15
B. Saran................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 16
LEMBAR
KERJA ............................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli
membagi tasawuf menjadi dua arah perkembangan. Ada tasawuf yang mengarah pada
teori-teori perilaku, ada pula tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang
begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam. Pada
perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering disebut
sebagai tasawuf salafi, tasawuf ahlaqi, tasawuf sunni. Tasawuf jenis ini banyak
di kembangkan oleh salaf. Adapun tasawuf yang berorientasikan ke arah kedua
disebut sebagai tasawuf falsafi. Dan tasawuf jenis kedua banyak dikembangkan
para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof, disamping sebagai sufi.
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa
kaum sufi terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu mereka yang mengajarkan
tasawuf yang berasal dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadist. Golongan ini
adalah mereka yang mengajak dan menyeru ummat islam melalui gerakan tasawufnya
berdasarkan panggilan dan anjuran dua dalil naqli diatas. Karena kedua dalil
tersebut berisikan ajaran-ajaran akhlak maka tasawuf ini juga disebut dengan
tasawuf akhlaki.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Sejarah Perkembangan Tasawuf Akhlaki?
2. Bagaimana
konsep dari Tasawuf Akhlaki?
3. Siapa
saja Tokoh-Tokoh Tasawuf Akhlaki?
C.
Tujuan
1. Memenuhi
tugas mata kuliah akhlak tasawuf.
2. Untuk
mengetahui konsep dari tasawuf akhlaki.
3. Untuk
mengetahui tokoh-tokoh tasawuf akhlaki.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan
Taswuf Akhlaki
Pada mulanya, tasawuf merupakan
perkembangan dari pemahaman tentang makna institusi-institusi islam. Sejak
zaman sahabat dan tabi’in, kecenderungan pandangan orang terhadap ajaran islam
secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran islam mereka dapat dipandang dari
dua aspek, yaitu aspek lahiriyah (seremonial) dan aspek batiniyah (spiritual),
atau aspek “luar” dan aspek “dalam”. Pendalaman dan pangalaman aspek “dalamnya”
mulai terlihat sebagai hal yang lebih utama, tentunya tanpa mengabaikan aspek
“luarnya” yang dimotifikasikan untuk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan
mereka lebih berorientasi pada aspek “dalam”, yaitu cara hidup yang lebih
mengutamakan rasa, lebih mementingkan keagungan tuhan dan bebas dari egoisme.
Sejarah dan perkembangan tasawuf ahlaki
mengalami beberapa fase berikut.
1. Abad
ke satu dan ke dua hijriah
Disebut pula dengan fase asketisme (zuhud). Sikap asketisme (zuhud) ini banyak di
pandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Fase asketisme ini, terdapat individu-individu
dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka
menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu tidak mementingkan makanan,
pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang
berkaitaan dengan kehidupan diakhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan
diri pada jalur kehidupan dan tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat
populer dari kalangan mereka adalah Hasan Al-Bashri (meninggal pada 110 H) dan
Robi’ah Al-Adawiyah (meninggal pada 185 H). Kedua tokoh ini dijuluki sebagai
zahid.[1]
2. Abad
ketiga Hijriah
Sejak abad ketiga hijriah, para sufi
mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengaan jiwa dan
tingkah laku. Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai
dengan upaya menegakkan moral di tengah kejadinya dekadensi moral yang
berkembang ketika itu, sehingga di tangan mereka, tasawuf pun berkembang
menjadi ilmu moral keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral, akhirnya
mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan akhlak.
Pada abad ketiga terlihat perkembangan tasaawuf yang pesat, ditandai
dengan adanya segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran
tasawuf yang berkembang masa itu. Mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu:
a.
Tasawuf yang berintikan
ilmu jiwa, yaitu tasawuf yang berisi suatu metode yang lengkap tentang
pengobatan jiwa, yang mengonsentrasikan kejiwaan manusia kepada khaliqnya,
sehingga ketegangan kejiwaan akibat pengaruh keduniaan dapat teratasi dengan
baik. Kenyataanya inti tasawuf ini dijadikan dasar teori oleh psikiater zaman
sekarang dalam mengobati pasiennya.
b.
Tasawuf yang berintikan
ilmu akhlak, yaitu di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk tentang cara
berbuat baik serta cara menghindarkan keburukan, yang di lengkapi dengan
riwayat dari kasus yang pernah di alami oleh para sahabat nabi.
c.
Tasawuf yang berintikan
metafisika, yaitu di dalamnya terkandung ajaran yang melukiskan hakikat ilahi,
yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak, serta
melukiskan sifat-sifat Tuhan, yang menjadi alamat bagi orang-orang yang akan tajalli
kepada-Nya.[2]
3. Abad
keempat hijriyah
Abad ini di tandai dengan kemajuan ilmu
tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan pada abad ketiga hijriyah, karena
usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya
masing-masing. Akibatnya, kota baghdad yang hanya satu-satunya kota yang
terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa itu, tersaingi
oleh kota-kota besar lainnya.
Perkembangan tasawuf di berbagai negeri dan kota tidak mengurangi
perkembangan tasawuf di kota baghdad. Bahkan, penulisan kitab-kitab tasawuf di
sana mulai bermunculan, misalnya kitab Qutubul Qultib fi Mu’amalatil Mahbub,
yang diakarang oleh Abu Thalib Al-Makki (meninggal di Bahgdad tahun 386 H).
Dalam pengajaran ilmu tasawuf di berbagai negeri dan kota, para ulama tersebut
menggunakan sistem tarekat, sebagaimana yang dirintis oleh ulama pendaahulunya.
Sistem tersebut berupa pengajaran dari seorang guru terhadap murid-muridnya
yang bersifat teoritis serta bimbingan langsung mengenai cara pelaksanaannya
yang disebut “suluk” dalam ajaran tasawuf.3
4. Abat
kelima hijriyah
Pada abad ke lima ini muncullah imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya
menerima tasawuf yang berdasar Al-Qur’an dan Assunnah serta bertujuan
asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral.
Pengetahuan tentang tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Disisi lain, ia
melancarkan kritikal tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan
Batiniyah. Al-Ghazalilah yang berhasil memancangkan prinsip-prinsip tasawuf
yang moderat, yang seiring dengan aliran Ahlussunnah Wal Jama’aah dan
bertentengan dengan tasawuf Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Bustami terutama
mengenai soal karakter manusia. Tasawuf pada abad kelima hijriyah cenderung
mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya kelandasan Al-Qur’an dan
assunnah. Al- Qusyairi dan Al-harawi dipandang sebagai tokoh sufi yang paling
menonjol pada abad ini yang memberi bentuk tasaawuf sunni.4
3 Ibid. 64-65.
4 Ibid. 65-66.
5. Abad
keenam hijriyah
Sejak abad keenam hijriyah, sebagai akibat pengaruh kepribadian
Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf sunni semakin meluas keseluruh
pelosok dunia islam. Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokoh sufi
yang mengembangkan tarekat-tarekat dalam rangka mendidik murid-muridnya,
seperti Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (meninggal pada taahun 561 H).
Al-Ghazali dipandang sebagai pembela taasawuf akhlaqi. Paandangan
tasawufnya seiring dengan para sufi aliran pertama, para sufi abad ketiga dan
keempat hijriah. Di samping itu, pandangan-pandangannya seiring dengan Al-Qusyairi
dan Al-Harawi. Namun dari segi kepribadian , keluasan pengetahuan dan kedalaman
tasawuf Al-Ghazali lebih besar di banding dengan semua tokoh di atas. Ia sering
dikliaim sebagai seorang sufi terbesar dan terkuat pengaruhnya dalam khazanah
tasawufan di dunia islam.5
B. Konsep Akhlak Tasawuf
Dalam tasawuf akhlaqi,
sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut.
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang
harus dijalani seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri
dari akhlak tercela. Salah satu tercela yang paling banyak menyebabkan
timbulnya akhlak jelek lainnya adalah ketergantungan pada kelezatan duniawi.
Hal ini dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam
segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu.6
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya menghiasi diri dengan
jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli
dilakukan kaum sufi setelah jiwa dikosongkan dari akhlak-akhlak jelek. Pada
tahap
5 Ibid. 67.
6 Samsul
Munir Amin, Ilmu Tasawuf (Jakarta:
Amzah, 2015), hlm. 212.
tahalli,
kaum sufi berusaha agar setiap gerak perilaku selalu berjalan diatas ketentuan
agama, baik kewajiban yang bersifat ‘luar’ maupun yang bersifat ‘dalam’. Aspek
luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal. Seperti shalat, puasa,
dan haji. Sedangkan aspek ‘dalam’ seperti iman, ketaatan, dan kecintaan kepada
Tuhan.
Dengan demikian, tahap tahalli
merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongan. Sebab, apabila satu
kebiasaan telah dilepaskan, tetapi tidak segera ada penggantinya, kekosongan
itu dapat menibulkan frustasi. Oleh karena itu, ketika kebiasaan lama
ditinggalkan harus segera diisi dengan satu kebiasaan baru yang baik, jiwa
manusia, sepeti kata Al-Ghazali, dapat diubah, dilatih, dikuasai, dan dibentuk
sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri.
Sikap mental dan perbuatan baik yang
sangat penting disisikan ke dalam jiwa manusia dan dibiasakan dalam perbuatan
dalam rangka pembentukan manusia paripurna, antara lain sebagai berikut.7
a. Tobat
Menurut Qamar Kalani dalam bukunya Fi
At-Tashawwuf Al-Islam, tobat
adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati dengan disertai
permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa
b. Cemas
dan Harap (Khauf dan Raja’)
Sikap mental rasa cemas (khauf)
dan harap (raja’) merupakan salah satu ajaran tasawuf yang selalu
dikaitkan kepada hasan al bashri (wafat tahun 110 H) karena, secara historis
memang dialah yang pertama kali memunculkan ajaran ini sebagai ciri kehidupan
sufi. Menurut al bashri, yang di maksud dengan cemas atau takut adalah suatu
perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan sering lalai kepada Allah.
karena sering menyadari kekurang sempurnaannya dalam mengabdi kepada Allah, timbullah
rasa takut, khawatir kalau Allah akan murka kepadannya.
7
Solihin dan Anwar, Ilmu, hlm. 115-116.
c. Zuhud
Sesuai pandangan sufi, hawa nafsu
duniawilah yang menjadi sumber kerusakan moral manusia. Sikap kecenderungan
seseorang kepada hawa nafsu mengakibatkan keberutalan dalam mengajar kepuasan
nafsunya. Dorongan jiwa yang ingin menikmati kehidupan duniawi akan menimbulkan
kesenjangan antara manusia dengan Allah. Agar
terbebas dari godaan dan pengaruh hawa nafsunya, manusia harus bersikap
hati-hati terhadap dunia. Ia harus zuhud terhadap dunia, yaitu meninggalkan
kehidupan duniawi dan melepaskan diri dari pengaruh materi.
d. Al-Faqr
Istilah al-farq bermakna tidak
menuntut lebih banyak dari apa yang telah di punyai dan merasa puas dengan apa
yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental farq
merupakan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi.
Sebab, sikap mental ini akan menghindarkan sesorang dari keserakahan.
Sikap farq selanjutnya akan
memunculkan sikap wara’. Wara’ menurut para sufi adalah sikap
berhati hati dalam mengahadapi segala sesuatu yang kurang jelas masalahnya.
Apabila bertemu dengan satu persoalan, baik yang bersifat materi maupun non
materi yang tidak pasti hukumnya atau tidak jelas asal usulnya lebih baik
menghindarkan atau meninggalkannya.8
e. Ash-Shabru
Salah satu mental yang fundamental bagi
seorang sufi adalah sabar. Sabar diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang
kokoh stabil, dan konsikuen dalam pendirian jiwanya tidak tergoyahkan
pendiriannya tidak berubah bagaimanapun berat
tantangan yang dihadapi, pantang mundur dan tak kenal menyerah sikap
sabar
8 Ibid.
117.
dilandasi oleh anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan kehendak (iradah) tuhan.
f.
Rida
Sikap mental rida merupakan kelanjutan
rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan
sabar. Istilah rida mengandung pengertian menerima dengan lapang dada
dan hati terbuka terhadap apa saja yang datang dari Allah, baik dalam menerima
serta melaksanakan ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenaan dengan masalah
nasib dirinya.
g. Muraqabah
Seorang calon sufi sejak awal sudah di
ajarkan bahwa dirinya tidak pernah lepas dari pengawasan Allah. Seluruh
aktivitas hidupnya ditujukan untuk berada sedekat mungkin dengan-Nya. Ia sadar
bahwa Allah memandangnya. Kesadaran itu membawanya pada satu sikap mawas diri
atau muraqabah.
3. Tajalli
Kata tajalli
bermakna terungkapnya nur ghaib.9
Agar hasil yang telah di peroleh jiwa ketika melakukan takhalli dan takhalli
tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan
yang dilakukan dengan kesadaran dan rasa cinta dengan sendirinya akan
menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
C. Tokoh-Tokoh Akhlak
Tasawuf Akhlaki
1. Al-ghazali
Nama
lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ta’us al-Thusi al-Syafi’i
al-Ghazali. Ia di panggil al-Ghazali karena di lahirkan di Ghazlah, suatu kota
di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M.10
Ia lahir dari seorang penenun wol (ghazzal),
sehingga ia dijuluki al-ghazali. Pendidikan yang dijalaninya berawal dari kota
Thus, lalu ke Jurjan. Pada usia 20 tahun ia berguru pada al-Juwaini di
Naisapur, mempelajari fikih dan teologi.
9 Amin, Ilmu, hlm. 220.
10 Moh. Toriqquddin, Sekularitas Tasawuf, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 173.
Dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih
tasawuf sunni yang berdasarakan al-quran dan as-sunnah Nabi Muhammad SAW. Di
tambah dengan doktrin Ahlu Assunnah wa al-jamaah. Dari paham tasawufnya,
ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang memengaruhi para filsuf
islam, sekte islamiyah, aliran syi’ah, ikhwan ash-shafa, dan
lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi
dan penyatuan sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar
bercorak islam. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan
moral.11
Al-Ghazali menilai negative terhadap syathahat
karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memerhatikan amal
lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit di pahami, Allah. Dapat di
saksikan. Kedua, syathahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan
hasil imajinasi sendiri. Dengan demikian, ia menolak tasawuf semifisafat
meskipiun ia mau memaafkan A-Hallaj dan Yazid Al-Busthami. Ungkapan –ungkapan
yang ganjil itu telah menyebabkan orang-orang Nasrani salah dalam menilai
Tuhannya, seakan-akan ia berada pada Al-Masih. Ajaran tasawuf Al-Ghazali yaitu:
a.
As-Sa’adah
Menurut
Al-Ghazali, keleztan dan kebahgiaan yang palig tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah).
Di dalam kitab kimiya’ As-Sa’adah, Ia menjelaskan bahwa as-sa’adah (kebahagiaan)
itu sesuai dengan watak, sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya.
Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Nikmatnya telinga
terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demikin juga seluruh anggota tubuh,
masing-,asing mempunyai kenikmatan tersendiri.12
11 Solihin dan Anwar, Tasawuf , hlm. 140-141.
12 Ibid.
Hlm. 143.
2. Hasan Al-Bashri
Nama
lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang
masyhur di kalangan tabiin. Ia dilahirkan pada tahun 21 H di Madinah pada tahun
21 H (632M), dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab pada tanggal 10 tahun 110 H
(728 M). Ia seorang zahid yang dapat bertemu dengan 70 sahabat yang
turut menyaksikan peperangan Badar dari 300 sahabat lainnya.
Ia sangat memberikan perhatian kepada
persoalan akhlak, ilmu-ilmu kebatinan, dan penyucian hati di masjid Bashrah,
Irak. Ia memulai pendidikan di Hijaz, dan berguru kepada ulama-ulama yang
tinggal disana. Selanjutnya ia bersama orang tuanya pindah ke Bashrah, sebuah
kota yang membawa kemasyhurannya sehingga menjadikannya mendapatkan nama Hasan
al-Bashri.
Hasan al-Bashri dikenal sebagai seorang
zahid, yang tidak mencintai dunia sedikitpun. Di samping itu, ia dikenal
sebagai seorang yang wara’, yaitu
sikap yang sangat berhati-hati dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Disamping
itu dikenal sebagai seorang yang mempunyai keberanian dalam menyampaikan
kebenaran.
Hasan al-Bashri dikenal sebagai tokoh
yang mengadakan gerakan moral untuk memprotes pola hidup khalifah Umayyah yaitu
Yazid bin Muawiyah yang sangat bermewah-mewah, bergelimang dengan kesenangan
duniawi, dan berprilaku sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan.
Kelebihan Hasan al-Bashri setidaknya diungkapkan oleh Abu Qatadah, yang
menyatakan “Bergurulah kepada syaikh ini. Saya telah sendiri keistimewaannya.
Tidak seorang tabiin yang menyerupai sahabat nabi selain dirinya”.13
13 Toriqquddin, Sekularitas, hlm. 168-169.
Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan
sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut:14
1. Perasaan
takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram yang menimbulkan
perasaan takut.
2. Dunia
adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci
dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Akan tetapi,
barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambal dengan
dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat
ditanggungnya.
3. Tafakkur
membawa kita pada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan
jahat menyebabkan kiya untuk tidak mengulanginya lagi. Sesutu yang fana’
betapapun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ betapapun
sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh
tipuan.
4. Dunia
ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggal
mati suaminya.
5. Orang
yang beriman akan senantiasa berdukacita pada pagi dan sore hari karena berada
diantara dua perasaan takut, yaitu takut mengenang dosa yang telah lampau dan
takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
6. Hendaklah
setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, hari kiamat yang
akan menagih janjinya.
7. Banyak
dukacita di dunia memperteguh semangat amal shaleh.
14 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung:
cv pustaka setia, 2010), hlm. 232-233.
3. Al-Muhasibi
Nama
lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Al-Harist bin As’ad Al-Bashri Al-Baghdadi
Al-Muhasibi. Dia lahir di Bashrah pada tahun 165 H/781 M, dan meninggal pada
tahun 243 H/857 M. Selagi masih kecil ia pindah ke Baghdad.
Ia adalah seorang tokoh sufi yang banyak
mengamati berbagai fenomena di masyarakat Muslim. Dalam pandangannya, seseorang
akan mendapatkan keselamatan di akhirat dengan melakukan ketaatan dan ketaqwaan
serta meneladani pola prilaku Nabi Muhammad SAW. Ia dikenal dengan ajaran
ma’rifatnya. Berkaitan dengan ma’rifat, Al-Muhasibi menjelaskan bahwa untuk
mencapainya pertama, seseorang harus
menjalani ketaatan kepada Allah, yang hal itu merupakan ungkapan kecintaan
kepada Allah. Dengan kecintaan hamba kepada Allah, maka hatinya akan tersinari
dengan cahaya Allah. Kedua, hati yang
tersinari itu akan mengakibatkan tersingkapnya ilmu dan dan hal-hal ghaib. Ketiga, yaitu sang sufi yang mengalami fana’ wa al-baqa’ dan pada tahap akhir,
sang sufi mengalami ma’rifat.
Konsep atau ajaran tasawufnya antara
lain:15
a. Makrifat
Al-Muhasibi berbicara
pula tentang makrifat. Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan batasan-batasan
agama, dan tidak sekali-kali mendalami pengertian batin agama yang dapat
mengaburkan pengertian lainnya dan mengaburkan keraguan.
b. Khauf
dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf
(rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam
perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia terkesan mengaitkan kedua sifat itu
dengan etika-etika keagamaan lainnya, yakni ketika disifati dengan dua sifat di
atas, seseorang secara bersamaan disifati pula dengan sifat-sifat
15 Ibid. 234.
lainnya. Pangkal wara’
menurutnya, adalah ketakwaan, pangkal
ketakwaan adalah
introspeksi diri (Muhasabat an-nafs), pangkal introspeksi diri adalah khaufdan
raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang
janji dan ancaman Allah, sedangkan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah
perenungan.
4. Al-Qusyairi
Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abbul Karim bin Khawazim, lahir pada
tahun 376 di Istiwa, di Naisafur yang merupakan pusat ilmu pengetahuan pada
saat itu. Ia berguru kepada Abu ‘Ali al-Daqqak dalam ilmu tasawuf, sedangkan
dalam ilmu fiqh, ia belajar kepada Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar al-Thusi.
Konsep atau ajaran tasawufnya antara
lain:16
a. Mengembalikan
tasawuf ke landasan Ahlussunnah
Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlu
Sunnah dan menolak terhadap para sufi syathahi, yang mengucapkan
ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifatsifat ketuhanan,
khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat
baharunya.
b. Kesehatan
Batin.
Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya,
karena kegemaran mereka menggunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan
mereka pada saat yang sama bertentangan dengan pakaian mereka. Ia menekankan
bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh pada Al-quran dan As-sunnah lebih
penting ketimbang pakaian lahiriyah.
c. Penyimpangan
Para Sufi
Pada Abad kelima Hijriyah, para sufi banyak melakukan
penyimpangan-penyimpangan. Dan tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari
perkembangan yang pertama, baik dari segi akidah
16 Anwar, Akhlak, hlm. 239.
atau dari segi-segi moral dan tingkah
laku. Oleh karena itu, Al-Qusyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya
karena dorongan rasa sedih melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak
bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan
mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya risalahnya itu.
Menurutnya, sekadar pengobat keluhan atau apa yang menimpa tasawuf pada
masanya.
Dari uraian di atas,
tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawuf menurut Al-Qusyairi harus dengan
merujuknya pada doktrin Ahlussunnah wal Jamaa’ah, yang dalam hal ini
ialah dengan mengikuti para sufi Sunni abad ke tiga dan keempat hijriyah yang
sebagaimana diriwayatkan dalam Ar-Risalah.17
17 Ibid.
240.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada dasarnya, perkembangan ilmu tasawuf
ini, terjadi karena adanya perbedaan pendapat para sufi. Sehingga timbullah
berbagai macam paham di dalam dunia kesufian. Paham-paham tersebut
masing-masing memiliki tujuan yang berlainan, sehingga terjadi perbedaan yang
mencolok antara paham yang satu dengan yang lain.
Tasawuf diciptakan sebagai media untuk
mencapai maqashid al-syar’i (tujuan-tujuan syara’). Karena bertasawuf
itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, zakat,
haji, dan lain sebagainya, yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
B.
Saran
Dalam tasawuf akhlaki seharusnya yang
menjadi dasar dalam pedomannya untuk selalu berada di jalan Allah adalah
meninggalkan dunia dalam artian tidak terpengaruh pada kehidupan yang ada di
dunia. Kontek ajaran tasawuflah yang akan membawa seorang sufi dekat dengan
Allah. Untuk menjadi seorang sufi tidaklah mudah.
Amalan dan kelakuan seorang sufi
sangatlah berbeda dengan manusia biasa yang juga menyeimbangkan kehidupan
antara dunia dan akhirat. Dalam tasawuf akhlaki, zuhud merupakan kunci
utama untuk mendekatkan diri dan di sayang penuh oleh Allah. Maka hindarkanlah
ia untuk tetap mempertahankan dan tidak melakukan penyimpangan yang menjatuhkan
dan menjauhkan dirinya sebagai seorang sufi.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul
Munir. Ilmu Tasawuf.
Jakarta: Amzah, 2015.
Anwar, Rosihun.
Akhlak Tasawuf.
Bandung: Pustaka Setia,
2009.
Solihin, M.
Dan Rosihon Anwar.
Ilmu Tasawuf.
Bandung: Pustaka Setia,
2008.
Toriqqudin, Moh. Sekularitas
Tasawuf. Malang: UIN-Malang
Press, 2008.
LEMBAR
KERJA
1.
Menurut anda, jelaskan
perbuatan atau langkah-langkah agar menjadi manusia yang insan kamil?
2.
Apa penyebab utama
seseorang yang terus ingin mengecap kenikmatan hidup duniawi sehingga menjadi
sumber kerusakan akhlak?
3.
Menurut anda, apa
langkah utama yang harus dilakukan untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian?
4.
Menurut anda, jelaskan
kewajiban yang bersifat luar dan dalam dalam sistem pembinaan akhlak?
5.
Menurut anda, apa upaya
seorang sufi untuk mengembangkan doktrin-doktrin dan tingkah laku yang
berkaitan dengan seorang sufi?
6.
Menurut anda, apa yang
menjadi sumber kerusakan moral manusia yang menyebabkan kesenjangan antara
manusia dengan Allah?
7.
Jelaskan maksud
makrifat seorang sufi tidak dihalangi hijab?
[1] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: cv pustaka setia,
2008), hlm. 62.
[2] Ibid. 63-64.
No comments:
Post a Comment