AKUNTANSI A 2016

Saturday, December 10, 2016

Makalah Tasawuf Tasawuf Irfani

TASAWWUF IRFANI, TOKOH DAN KONSEPNYA

MAKALAH
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawwuf
yang diampu oleh: Moch. Cholid wardi, M.HI.

Oleh kelompok 6:
Imamil Faris Maulana
NIM: 20160703040053.
Moh. Suud
NIM: 20160703040060
Muhammad Syahrul Mawardi
NIM: 20160703040019.
Ahmad kusairi
NIM: 20160703040045






PROGRAM AKUNTANSI SYARI’AH (AS)
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM (EBIS)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
TAHUN 2016



KATA PENGANTAR

            Assalamu’alaikum wr. wb.
           
            Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia dan hidayahNya kepada kita semua sehingga akhirnya tugas karya tulis ini dapat terselesaikan. Sholawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang dengan mana kita dapat meniru suri tauladan beliau sehingga kita dapat membuat makalah ini.
            Dengan tersusunnya makalah ini kami berharap para pembaca dapat memahami isi makalah ini dan berminat untuk membacanya dan kami berharap makalah ini dapat berguna untuk kita semua. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan rahmat dan karunia-Nya serta keridhoan-Nya kepada kita semua, amin.
            Akhir kata, kami mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam  menyelesaikan makalah ini dan kami memastikan bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, maka dari itu kami minta saran dan kritiknya. Harapan penulis, semoga penulisan karya tulis ini dapat diambil manfaatnya oleh pembaca.
           
Wassalamu’alaikum wr. wb.

Pamekasan, 30 November 2016


(Penyusun)                      



 
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..........................................................................................................  i
KATA PENGANTAR ........................................................................................................  ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
                  A.    Latar Belakang.................................................................................................. 1
                  B.     Rumusan Masalah............................................................................................. 1
                  C.     Tujuan ...............................................................................................................  1
BAB II.PEMBAHASAN ..................................................................................  2
                  A.    Pengertian Tasawwuf Irfani ..............................................................................  2
                  B.     Tokoh-tokoh Sufi................................................................................................ 2
                 1.      Rabi’ah Al-Adawiyah......................................................................... 2
                 2.      Dzu An-Nun Al-Mishri....................................................................... 4
                 3.      Al-junaidi al-baghdadi......................................................................... 8
                 4.      Abu Manshur Al-Hallaj..................................................................... 11
                 5.      Abu Yazid AL-Bustomi....................................................................... 13
BAB III. PENUTUP.............................................................................................. 16
                A.    Kesimpulan............................................................................................................ 16
                B.     Saran..................................................................................................................... 16
 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................  iv
LEMBAR KERJA ..............................................................................................  v

 


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dalam keterbuaian akan kenikmatan dunia sehingga mereka terkadang mereka lupa terhadap tuhan yang menciptaknnya. Keadaan inilah membuat manusia lemah dalam demensi spiritualnya dan mambuat nilai-nilai spiritulitas yang selama ini kita pegang secara teguh lambat laun akan terkikis. Kita sering menyaksikan tercerabutnya akar spriritualitas di panggung kehidupan. Salah satu penyebabnya adalah pola hidup global yang dilayani oleh perangkat teknologi yang serba canggih.
Dalam konteks Islam, untuk mengatasi keterasingan dan kekosongan spiritualitas dan sekaligus membebaskan dari derita penyakit keduniaan yang fana ini, maka kita harus menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir (The Last Destination) dan kembali, karena Tuhan adalah Dzat Yang Maha Memiliki dan Maha Absolut. Keyakinan dan perasaan seperti inilah yang akan memberikan kekuatan, kendali dan kedamaian jiwa seseorang sehingga ia merasa senantiasa berada dalam jalan Tuhan.
B.       Rumusan Masalah
       Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Apa pengertian tasawuf irfani?
2.      Siapa tokoh sekaligus konsep dalam tasawuf irfaninya?
C.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan ditulisnya makalah ini adalah:
1.    Mengetahui pengertian tasawuf irfani.
2.    Mengetahui tokoh-tokoh beserta konsepnya.



BAB II
PEMBAHASAN
      A.    Pengertian Tasawuf Irfani
Secara etimologis, kata irfan merupakan kata jadian (masdhar) dari kata ‘arafa’ (mengenal/pengenalan). Adapun secara terminologis, ‘irfan diidentifikasikan dengan ma’rifat sufistik. Dengan demikian pengertian tasawuf irfani adalah penyingkapan hakikat kebenaran atau ma’rifah kepada Allah tidak di peroleh melalui teori-teori perilaku sebagai mana tasawuf akhlaki atau teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman yang mendalam sebagai mana tasawuf falsafi, akan tetapi melalui hati yang bersih (suci) yang dengannya seseorang dapat berdialog secara bathini dengan tuhan sehingga pengetahuan atau ma’rifah dimasukkan Allah kedalam hatinya, hakikat kebenaranpun tersingkap lewat ilham.[1]
Aliran ‘irfani berpandangan bahwa apapun yang ada di dunia alam semesta ini adalah manifestasi-manifestasi Ilahi, yang tidak mungkin ada tanpa adanya Tuhan, sang wujud sejati.[2] Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Allah, yang di buat  agar kiat bisa berfikir betapa besar kekuasaan Allah, dan betapa belas kasihan-Nya terhadap manusia, sehingga dengan itu semua manusia dapat memenuhi segala kebutuhan hidupannya di alam ini.
Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan manusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Ini tingkatan ikhlas yang paling tinggi, kita tidak ingin di puji, atau jika di puji tidak pernah berubah, dan apabila di caci maki juga tidak pernah berubah. Semuanya adalah untuk Allah semata.[3]

B.     Tokoh-tokoh Sufi yang Termasuk dalam Aliran Tasawuf Irfani
            Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, diantaranya sebagai berikut: 
                        1.         Rabi’ah Al-Adawiyah
     a.     Biografi Singkat Rabi’ah Al-Adawiyyah
Rabi’ah yang bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail al-Adawiyyah al-Bashriyah al-Qaisiyah, diperkirakan lahir tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di sebuah perkampungan di dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Karena ia putri keempat, orang tua menamakannya Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Konon, pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan di jual kepada keluarga atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini, ia di kenal dengan al-Qaisiyah atau al-Adawiyyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan karena tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala al-Adawiyyah dan menerangi seluruh ruangan rumah saat ia beribadah.[4]
Setelah di merdekakan tuannya, Rabi’ah pergi hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah. Dia jalani sisa hidupnya hanya dengan beribadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagai kekasihnya. Bahkan ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang di berikan orang kepadanya.[5]
Pendapat ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi. Rabi’ah menurutnya, sebelum bertobat pernah menjalani kehidupan duniawi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Rabi’ah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan yang digunakan Badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat Rabi’ah itu sendiri. Menurut Badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabi’ah kepada Allah begitu ekstremnya, kecuali ia pernah sedemikian jauh dalam menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya.[6]
     b.    Konsep Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyyah
Rabi’ah al-Adawiyyah tercatat dalam perkembangan mistisme Islam sebagai peletak dasar tasawuf  berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut dan penghargaan kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Bahkan menurut  Riwayat, rabi’ah  al- Adawiyyah selalu menolak lamaran pria sholeh dengan mengatakan : “akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan lepas dari diri. Aku maujud dalam tuhan dan diriku sepenuhya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mesti di minta dari-Nya, bukan diriku”.[7]
Rabi’ah mengartikan cinta (Al-Hub) kepada Allah dengan nilai Ikhlas yang begitu mendalalam dalam hatinya, sehingga apapun yang ia lakukan bukan semata mata karena dia takut terhadap ancaman Allah, ataupun mengharap balasan dari Allah, namun lebih dari itu dia melakukan semua itu berdasarkan rasa cintanya kepada Allah yang sudah kian membara sehingga dapat menghilangkan nafsu keduniaannya.
Inilah mengapa Rabi’ah al- Adawiyyah di anggap sebagai seorang sufi yang meletakkan dasar konsep zuhud berdasarkan cinta (Al-hub). Konsep yang di bawa oleh Rabi’ah al-Adawiyyah ini membuat dia berbeda dengan Hasan al-Bashri.[8] Sikap dan pandangan Rabi’ah al-Adawiyyah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. al-Qusyairi meriwayatkan bahwa katika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akan Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu?” Tiba-tiba terdengar suara, ”Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.”[9]
                        2.         Dzu An-Nun Al-Mishri
      a.       Biografi Singkat Dzu An-Nun Al-Mishri
Dzu An-Nun al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu al- Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di salah satu kawasan di mesir bernama Ekhmim pada tahun 180 H/796 M. Dan wafat pada tahun 246 H/856 M.[10]
Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi, sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia mengambil riwayat hadis dari Malik, al-Laits, dan lain-lainnya. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain al-Hasan bin Mush’ib An-Nakha’iy. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran  Al-‘Abd atau Israfil al-Maghribiy. Ini yang menjadikan ia seorang alim, baik dalam ilmu syariat maupun tasawuf.[11]
Pengembaraan keilmuannya membuat di menjadi orang yang alim dalam ilmu tasawuf pada saat itu, dan pengetahuan syari’atnya juga tidak di ragukan lagi, jika di lihat dari salah satu gurunya seperti imam hanbal  yang merupakan imam terkemuka pada saat itu maka dapat dapat di simpulkan bahwa dia layak di katakan orang yang ‘alim dalam pengetahuan syari’at.
Sebelum al-Mishri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ia adalah orang pertama yang memberi tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia pun merupakan orang pertama di Mesir yang membicarakan tentang Ahwal dan Maqamat para wali dan orang yang pertama memberi definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.[12]
Dalam perjalanan hidupnya yang suka mengembara, menyebabkan dia berhubungan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal, mengambil riwayat hadis dari Malik, al-Laits dan lain-lain.[13] 
      b.       Konsep ajaran Tasawuf Dzu An-Nun Al-Mishr
al-Mishri adalah pelopor paham makrifat. Penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan riwayat al-Qathi dan al-Mas’udi yang kemudian dianalisis Nicholson dan Abd al-Qadir dalam falsafah as-Sufiah fi al-Islam, al-Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang makrifat dalam bidang sufisme Islam. Pertama, ia membedakan “makrifat sufiah” dengan “makrifat aqliyah”. Bila yang pertama menggunakan pendapat qalb yang biasa digunakan para sufi, yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua, menurut al-Mishri, makrifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab makrifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga, teori-teori makrifat al-Mishri menyerupai genosisme ala-Platonik. Teori-teorinya itu kemudian di anggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad.[14]
Kedua pandangan  al-Mishri di atas menjelaskan bahwa makrifat kepada Allah tidak dapat di tempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan makrifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini, sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan.
 Ma’rifah menurut Al-Mishri terbagi menjadi tiga macam. Pertama yaitu Ma’rifah orang awam, kedua Ma’rifah para teolog dan filsuf. Dan yang terakhir adalah Ma’rifah para wali-wali Allah.[15]
            Adapun maqamat dalam perspektif kaum sufi tidaklah sama antara satu dan yang lainnya. Hal itu di sebabkan maqamat adalah pengalaman individu/pribadi sang sufi yang hanya dapat di rasakan oleh pribadi yang bersangkutan.[16] Dan pandangan Al-Mishri tentang maqamat, dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu: at-taubah, ash-shabr, at-tawakal dan ar-ridha. Dalam Dairat al-Ma’rifat al-Islamiyyat terdapat keterangan berasal dari al-Mishri yang menjelaskan bahwa simbol-simbol zuhud itu adalah sedikit cita-cita, mencintai kekafiran, dan memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang di sebut al-Mishri lebih sedikit dibandingkan dengan apa yang dikemukakan sejumlah penulis sesudahnya.
Menurut al-Mishri, ada dua macam taubat, yaitu taubat awam dan taubat khawas. Taubat awam maksudnya adalah taubatnya seseorang karena kelalaian dan kekhilafan (dari mengingat Allah). Dalam ungkapan lain, ia mengungkapkan bahwa sesuatu yang di anggap sebagai kebaikan oleh al-abrar di anggap sebagai dosa al-muqqarabin. Pandangan ini mirip dengan pernyataan al-Junaidi yang mengatakan bahwa tobat adalah “engkau melupakan dosamu”. Pada tahap ini orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju kepada kebesaran Tuhan dan dzikir yang berkesinambungan.[17]
 Al-Mishri mejabarkan tentang maqam as-shabr dalam potongan dialognya dengan seseorang, ketika ia menjenguknya. Ketika orang sakit itu merintih, maka al-Mishri berkata, “Tidak termasuk cinta yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan”. Orang sakit itu kemudian menimpali perkataan al-Mishri, “Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”[18]
Maqam tawakal pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari maqam as-shabr. Oleh karenanya maka seorang yang mencapai derajat as-shabr. Dengan sendirinya adalah seorang yang telah mencapai derajat Tawakkal.[19] Namun  al-Mishri mendefinisikannya sebagai berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan.[20]  seseorang yang telah mencapai tingkatan taqwa ini maka segala kecemasan yang ada pada dirinya tidak terasa lagi karena sifat tawakkal orang tersebut telah menjadi hiasan utama dalam hatinya atau bahkan telah menjadi dinding dalam hatinya sehingga kedekatannya kepada Allah semakin nampak. Dan tercermin dalam prilaku sehari-harinya.
Yang keempat adalah ar-Ridha. Ridha merupakan buah dari tawakkal. Dimana jika seorang sufi telah benar-benar melaksanakan tawakkal, maka dengan sendirinya ia sampai pada makna ridha.[21] Sehingga dengan begitu seseorang yang dalam hatinya masih mempunyai suatu sifat Riya’ dan Takabbur maka dapat di pastikan bahwa tidak akan pernah mencapai tingkatan sebagai orang yang menyandang sifat ar-ridha.
Dalam pengertian ar-Ridha al-Mishri mendefinisikan kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh al-Qanad, yakni ar-ridha adalah ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan Tuhan. Kedua pendapat ini pada dasarnya menunjukkan makna yang sama. Perbedaanya hanya terletak pada pemilihan kata al-Mishri memilih kata surur  al-qalb (kegembiraan hati) untuk ketenangan hati, sedangkan al-Qanad memilih kata sukun al-Qalb (ketenangan Hati).[22]
Berkenaan dengan Ahwal. Ahwal  adalah jamak dari hal yang berarti ”keadaan” hal adalah keadaan peristiwa yang di alami oleh kaum sufi ketika ketika ia menempati maqam tertentu.[23] Al-Mishri menjadikan mahabbah “cinta kepada Tuhan” sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab, orang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW, dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah dan sunnahnya. Dan tiga simbol mahabbah menurutnya yaitu: ridha terhadap hal-hal yang tidak di senangi, berprasangka terhadap sesuatu yang belum di ketahui, dan berlaku baik dalam menentukan pilihan terhadap hal-hal yang di peringatkan.[24]
                        3.         al-Junaidi al-Baghdadi
a.     Biografi al-Junaidi al-Baghdadi
Abu aI-Qasim al-Junayd bin Muhammad al-Junaid aI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn al-Junaidi. Ia adalah murid dari Surri al-Saqati dan Haris al-Muhasibi.[25]
al-Junaidi pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang bernama Surri al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan al-Junaidi, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik. Dan ia meninggal tahun 297 H / 298 M. dan dianggap sebagai perintis dari tasawuf yang bercorak ortodoks.[26]
b.    Konsep ajaran Tasawuf al-Junaidi al-Baghdadi
Ajaran tasawuf al-Junaidi al-Baghdadi muncul setelah terjadinya salah pemahaman antara para yuris (fukaha) atau ahli fikih untuk mengambil sikap. Sehingga muncul pertentangan antara para pengikut tasawuf dan ahli fikih. Ahli fikih memandang pelaku tasawuf sebagai orang-orang zindik, yang mengaku Islam tapi tidak pernah menjalankan syariatnya. Hal ini karena, banyak pelaku tasawuf yang secara lahir meninggalkan tuntunan-tuntunan syari’at. Sebaliknya, tokoh zuhud-tasawuf memandang tokoh-tokoh fikih sebagai orang-orang yang hanya memperhatikan legalitas suatu persoalan, banyak penyelewengan dilakukan untuk mendapatkan hal-hal yang sebenarnya dilarang.
Dari adanya hal itu, al-Junaidi al-Baghdadi memberikan penegasan lebih lanjut akan pentingnya amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut al-Junayd,  tasawuf adalah pengabdian kepada Allah dengan penuh kesucian. Oleh karena itu, barang siapa yang membersihkan diri dari segala sesuatu selain Allah, maka ia adalah sufi.
Karena penekanan pada aspek amaliah inilah, maka tasawuf al-Junayd al-Baghdadi terkesan berusaha menciptakan keseimbangan antara syari’at dan hakikat. Ini merupakan kecenderungan yang berbeda sama sekali dengan tasawuf yang berorientasi pada pemikiran atau falsafah. syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat akan tertolak, demikian pula hakikat yang tidak diperkuat dengan syari’at juga akan tertolak. Syari’at datang dengan taklif kepada makhluk sedangkan hakikat muncul dari pengembaraan kepada yang Haq (Allah). Hal itu berarti kedekatan kepada Allah dapat dicapai manakala orang telah melaksanakan amaliah lahiriah berupa syari’at dan kemudian dilanjutkan dengan amaliah bathiniah berupa hakikat.[27]
al-Junaidi dikenal pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada al-Qur’an dan Hadits.[28]
Pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan segala urusan duniawinya. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak  terlalu peduli.
Begitu halnya mengenai masalah hulul dan ittihad yang tetap melandasinya dengan apa yang terdapat didalam ajaran al-Qur’an dan Hadis. Sebagaimana jawaban al junaidi ketika di tanya tentang tauhid bagi orang khawas (kelompok tertentu) yaitu : hendaklah seseorang menjadi pribadi yang berada di tangan Allah di mana segala kehendak-Nya berlaku bagi dirinya. Dan ini tidak bisa tercapai kecuali dengan menjadikan dirinya  fana terhadap dirinya dan makhluk sekitarnya. Dengan sinarnya prasaan dan kesadarannya maka seluruhnya berlaku kehendak Allah. Hanya perlu di perhatikan di sini bahwa al-junaid mengatakan: “tauhid yang secara khusus yang di anut para sufi adalah pemisahan antara yang qodim dengan yg hudus”. Dengan pemikiran seperti ini, al-junaid di pandang sebagai orang yang mendasarkan tasawuf kepada al-Quran dan as-Sunnah.[29]  
Jika melihat uraian di atas terlihat bahwa pembicaraan tentang fana berhubungan baqa sekaligus ittihad (persatuan manusia dengan tuhan). Hanya yang perlu di perhatikan disini adalah bahwa al-junaid membedakan antara yang qadim dengan hudus meskipun dapat bersatu keduanya tetap berbeda.[30]   
Artinya tasawuf  Junaid  al-Baghdady ini tetap memandang bahwa pentingnya syariat demi mencapai akhirat. Dimana, ajaran tasawuf al-Junaid ini sama dengan ajaran tasawuf al-Muhibbi yang memberi tekanan besar pada disiplin diri  atau lebih sepesifik pada disiplin kalbu. Ia memperjelas antara  orientasi ukrawi dan moralitas.
Dari ajaran tasawuf  al-Junaidi al-Baghdadi ini sangat jelas bahwasanya, orang sufi itu tetap diwajibkan menjalankan syari’at untuk mencapai kehadirat Ilahi Rabbi. Tanpa menjalankan syari’at, seseorang tidak akan sampai kepada Allah.
                         4.           Abu Manshur al-Hallaj
     a.     Riwayat Hidup al-Hallaj
Nama lengkap al-Hallaj adalah  Abu al-Mughist al-Husain bin Manshur bin Muhammad al-Baidhawi. Ia lahir di Baidha, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/255M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Bagdad. Pada usia 16 tahun ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah Tusturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian ia pergi ke Bashrah dan berguru kepada ‘Amr al-Makki yang juga seorang sufi. Pada tahun 878 M, ia masuk ke kota Bagdad dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu ia pergi mengembara dari satu negeri kenegeri lain untuk menambah penegtahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia digelari al-Hallaj karena penghidupannya yang di peroleh dari memintal wol.[31]
al-hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan- penyelewengan yang terjadi oleh sebab itulah al-hallaj di penjara dengan tuduhan kemurtadan setelah akhirnya al-hallaj di hukum gantung tapi sebelum di gantumg ia di cambuk seribu kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu di penggal kepalanya. Tetapi sebelum di pancung ia meminta waktu melaksnakan sholat dua rakaat. Setelah selesai shalat, kaki dan tangannya di potong, badannya di gulung dalam tikar bambu lalu di bakar dan abunya di buang ke sungai, sedangkan kepalanya di bawa ke khurasan untuk di pertontonkan. al-hallaj wafat pada tahun 922 M.[32]
     b.    Ajaran Tasawuf al-Hallaj
Di antara ajaran tasawuf al-Hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembang Ibn ‘Arabi. al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul). Kata al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mngambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.[33] Namun menurut al-Tusi dalam al-luma’, sebagai dikutip Harun Nasution, ialah paham yang mengatakan bahwa tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh itu di lenyapkan.[34]
al-Hallaj berpendapat bahwa diri manusia sebenarnya terdapat sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan Al-Qur’an dalam surah al-Baqarah ayat 34. Pada ayat itu di jelaskan Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Padahal menurut al-Hallaj yang berhak diberi sujud hanya Allah, oleh karena itulah ia memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya sendiri dan ia pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia marasa ada dalam bentuk copy diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam. Pada diri Adam lah, Allah muncul.
Menurut al-Hallaj, pada hulul mengandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak ilahi sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Namun, di lain waktu, al-Hallaj mengatakan: “Barang siapa mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri dalam dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.”[35]
Ajaran al-hallaj membedakan antara al-ittihad dengan al-hulul. al-ittihad adalah terjadinya persatuan wujud sehingga terlihat satu wujud sedangkan al-hulul terdapat dua wujud yang menempati satu tubuh.[36]
Dari uraian di atas, al-Hallaj tidak mengakui bahwa dirinya adalah Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan. Jadi dapat disimpulkan bahwa hulul yang terjadi pada Al-Hallaj tidaklah real karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang berlansung pada kondisi fana’, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan.
                        5.         Abu Yazid al-Bustami
a.     Biografi Singkat
Abu Yazid nama lengkapnya adalah Abu Yazid ibn “isa ibn surusyan. al busthami- lahir di daerah bustam (persia) tahun 874-976 M. Nama kecilnya adalah Thaifur, kakeknya seorang penganut agama zoroaster dan kemudian masuk islam. Keluarganya termasuk orang kaya di bustam, tetapi mareka memilih untuk tetap hidup sederhana.[37]
Sewaktu menjalani usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti ajaran agama, serta berbakti kepada  orang tuanya. Suatu hari gurunya menerangkan suatu surat dari al-Qur’an surat al-Luqman, “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang kerumahnya untuk menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan Allah.
Dalam pengembaraannya untuk menjadi seorang sufi Abu Yazid memerlukan puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali al-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu-ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja, ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku. Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan dan minum.
     b.    Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Ajaran tasawuf Abu Yazid yang tepenting adalah fana’ dan baqa. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya’, yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (w.378 H/988M) mendefinisikannya, “Hilangnya semua hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan segala sesuatu secara sadar, dan ia telah menhilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.[38]
Fana’ adalah akhir dari perjalanan meuju Allah. Sementara itu baqa’ adalah adalah awal dari perjalanan menuju Allah (fana’) berakhir ketika, dengan ketulusan , sang penempuh jalan sufi mengarungi gurun pasir eksistensi.[39] Fana’ dapat di bagikan dalam dua jenis, pertama fana’ lahiriyah adalah fana’ dalam berbagai perbuatan Ilahi. Sang pemilik fana’ ini sedemikian tenggelam dalam perbuatan-perbuatan Ilahi sehingga ia hanya mengetahui perbuatan, kemauan, dan kehendak Allah. Yang kedua fana’ batiniah, ini adalah fana’ dalam sifat-sifat dan zat. Pemilik hal ini dalam pengungkapan sifat-sifat yang maha awal terkadang tenggelam dalam fana’ sifat-sifatnya sendiri. Karena tenggelam dalam fana’ dzat  yang mahaawal, ia tenggelam dalam dalam fana’ dzat wujud (Wujud Mutlak, Allah) hingga ketika eksistensi Allah memenuhi dirinya dan hatinya bersih dari segala godaan dan fikiran.[40]
Jalan menuju fana’, manurut Abu Yazid, dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia pernah melontarkan pertanyaan, “Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu”? Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah.” Abu Yazid pernah melontarkan kata ‘fana’ dan salah satu ucapannya: “Aku tahu kepada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tahu kepada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup.”
Adapun baqa’ berasal dari kata ‘baqiya’. Dari segi bahasa, artinya adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Faham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan faham fana’. Keduanya merupakan faham yang berpasangan. Jika sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’Ittihad adalah tahapan selanjutnya dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literature klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan.[41]
Namun karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan pertimbangan keselamatan sehingga akhirnya ajaran ini sangat sulit dipraktikan dan masih perlu pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu di analisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution, uraian tentang ittihad banyak terdapat dalam buku karangan orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad, identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Sufi bersangkutan, karena fana’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.[42]
Bahkan suatu ketika ada seseorang yang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “siapa yang engkau cari?” orang itu menjawab, “Abu Yazid” Abu Yazid berkata, “pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid, Kecuali Allah yang Mahakuasa."
Sepintas jika kita melihat jawaban Abu Yazid  maka menimbulkan pemikiran bahwa sesungguhnya dia adalah orang yang syirik karena telah menyekutukan Allah dengan dirinya, oleh karena itu dalam dalam sejarah pengajaran tasawufnya, tidak berkembang pesat seperti ajaran tasawuf lainnya, karena takut mengelabui orang awam, bahkan ada sebagian yang di tangkap dan di penjarakan karena hal tersebut.




BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa, Tasawuf irfani dalam pengajarannya tidak menekankan hanya pada pembahasan soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi. Sehingga dengan pernyataan ini maka setiap orang yang melakukan sesuatu, hanya untuk Allah semata sehingga tidak akan menimbulkan sesuatu yang di perhitungkan, baik secara materil atau psikis orang tersebut.
Tasawuf irfani mempunyai banyak tokoh yang mengisi pengajaran di dalamnya, diantara mereka Rabi’ah al-Adawiyah, yang tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabbah) kepada Allah. Dzu an-Nun al-Mishri, yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid al-Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’. al-Junaidi al-Baghdadi yag berusaha menjembatani antara syari’at dan hakikat. Abu Manshur al-Hallaj, dengan ajaran taswufnya yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.
       B.     SARAN
Setelah kita mengetahui tentang ajaran tasawuf irfani beserta tokoh-tokoh dan konsepnya hendaknyalah kita mengambil nilai positif dari pelajaran tersebut sehingga kita bisa menjadi pribadi yang lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan tidak terlalaikan oleh kenikmatan dunia yang menjerumuskan.










DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2009
Muhammad, Hasyim. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002.
Rusli, Ris’an. Tasawuf dan Tarekat.  Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Suhrawardi, Syihabuddin ‘Umar ibn Muhammad. A Darwish Textbook From The ‘Awarif al-Ma’arif, trj. Ilma Nugrahani Ismail, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

Susanto, Edi. Pengantar Filsafat Islam. Pamekasan: stainpamekasan_press, 2009.
Solichin, Mohammad Muchlis. pendidikan akhlak tasawuf.  t.t: suka-press, 2012.
Toriquddin, Moh. Sekularitas Tasawuf.. Malang: UIN-Malang Press, 2008.




LEMBAR KERJA
1.      Apakah yang di maksud dengan Tasawuf Irfani?
2.      Apa pokok pemikiran Rabi’ah Al-Adawiyah, dalam ilmu Tasawwuf?
3.      Berapakah pembagian Makrifah menurut Dzu An-Nun Al-Mishri? Sebutkan dan jelaskan.
4.      Jelaskan riwayat singkat kehidupan Abu Manshur Al-Hallaj.
5.      Apakah pendapat Al-Hallaj tentang al-hulul?
6.      -
7.      Apakah ajaran tasawwuf Abu Yazid AL-Bustomi yang terpenting? Sebutkan dan jelaskan.
8.      Sebutkan tiga simbol mahabbah menurut Al-Misri.




[1] Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm., 181. 
[2] Edi Susanto, Pengantar Filsafat Islam, (Pamekasan: Stainpamekasan Press, 2009), hlm., 60.
[3] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: cv pustaka setia, 2010), hlm., 253.
[4] Anwar, Akhlak, hlm. 254.
[5] Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 106.
[6] Ibid.
[7] Toriquddin, Sekularitas, hlm. 182.
[8] Ibid.
[9] Anwar, Akhlak, hlm. 255.
[10]  Anwar, Akhlak hlm. 257.
[11] Ibid. 258.
[12] Ibid.
[13] Toriquddin, Sekularitas, hlm. 185.
[14] Anwar, Akhlak, hlm. 259.
[15] Toriquddin, Sekularitas, hlm. 186.
[16] Mohammad Muchlis Solichin, pendidikan akhlak tasawuf, suka-pres, 2012. Hlm. 151.
[17] Anwar, Akhlak, hlm. 262.
[18] Ibid.
[19] Rusli, Tasawuf, hlm. 45.
[20] Ibid. 263.
[21] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset), hlm. 46.
[22] Ibid. 264.
[23] Solichin, pendidikan akhlak, hlm. 151.
[24] Toriquddin, Sekularitas, hlm. 188.
[25] Toriquddin, Sekularitas, hlm. 188.
[26] Ibid.
[27] Toriquddin, Sekularitas, hlm. 190.
[28] Ibid.
[29] Ibid. 189.
[30] Toriquddin, Sekularitas, hlm. 189.
[31] Anwar, Akhlak, hlm. 269.
[32] Anwar, Akhlak, hlm 270.
[33] Ibid. 271.
[34] Rusli, tasawuf, hlm, 118.
[35] Anwar, Akhlak, hlm. 274.
[36] Toriquddin, Sekularitas, hlm. 193.
[37] Ibid. 181.
[38] Anwar, Akhlak, hlm. 266.
[39] Syihabuddin ‘Umar ibn Muhammad Suhrawardi, A Darwish Textbook From The ‘Awarif al-Ma’arif, trj. Ilma Nugrahani Ismail, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 197.
[40] Ibid. 198.
[41] Anwar, Akhlak, hlm. 269.
[42] Ibid. 269.

No comments:

Post a Comment