AKUNTANSI A 2016

Thursday, December 8, 2016

Makalah Tasawuf Tasawuf Falsafi



TASAWUF FALSAFI

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.HI

Oleh Kelompok 7 :
SAHRUL ROMADHON
NIM. 20160703040065
MOH. HESBUL MAULANA
NIM. 20160703040058
FAHRUR ROZI
                                                               NIM. 20160703040048                                              
ACH. SYAFII
NIM. 20160703040044


PRODI AKUNTANSI SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016





KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah  yang telah memberikan rahmat serta karunianya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya. Tanpa pertolongannya mungkin kami tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.
Dengan membuat tugas ini kami diharapkan  mampu untuk lebih mengenal tentang tasawuf falsafi mengenai konsep dan tokohnya.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun, berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya karya ilmiyah ini dapat terselesaikan dengan cukup baik.
Penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan makalah yang lebih baik di masa yang akan datang.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amiin.
Wassalamualaikum Wr.Wb



                                                                          Pamekasan, 4 Oktober 2016
                                  PENYUSUN


                                 KELOMPOK 7
 




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
      A.    Latar Belakang ..................................................................................................1
      B.     Rumusan masalah ..............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................2
      A.    Pengertian dan perkembangan tasawuf falsafi ......................................................2
      B.     Tokoh-tokoh  tasawuf falsafi dan konsep ajarannya.............................................5
BAB III PENUTUP..............................................................................................10
      A.    Kesimpulan.......................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................11
LEMBAR KERJA...............................................................................................12







BAB I

PENDAHULUAN

            A.    Latar Belakang

Berbicara tentang tasawuf, maka yang ada adalah pembahasan yang berkaitan dengan ketuhanan. Namun sebelum melanjutkan pembahasan perlu kita ketahui bahwa tasawuf itu sendiri memiliki beberapa aliran, seperti tasawuf akhlaqi, tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Ada pula yang membagi tasawuf kedalam tasawuf amali, tasawuf falsafi dan tasawuf ilmi.

Berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya berangkat dari tasawuf falsafi, maka kita tidak akan lepas dari ide dasarnya yaitu pantheisme, dan pantheisme itu sendiri berasal dari kata yunani, yaitu “pan” yang berarti semua dan “theos” yang berarti tuhan. Jadi pantheisme adalah paham yang menganggap tuhan adalah immanen “ada didalam” mahluk-mahluk dengan kata lain tuhan dan alam adalah sama.
Kaum sufi falsafi menganggap bahwasanya tiada sesuatupun yang wujud kecuali Allah, sehingga manusia dan alam semesta, semuanya adalah Allah. Mereka tidak menganggap bahwasanya Allah itu zat yang esa, yang bersemayam di atas arsy. Dalam tasawuf falsafi, tentang bersatunya tuhan dengan mahluknya, setidaknya terdapat beberapa tema yang telah masyhur yaitu: hulul, wahdad al-wujud dan ijtihad.
      
        B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian tasawuf falsafi?
2.      Siapa tokoh-tokoh tasawuf falsafi?
3.      Bagaimana konsep ajaran para tokoh tasawuf falsafi?

              C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui pengertian tasawuf falsafi
2.      Untuk mengetahui siapa tokoh-tokoh tasawuf falsafi
3.      Untuk mengetahui ajaran tokoh-tokoh tasawuf falsafi



 


BAB II

PEMBAHASAN

           A.    Pengertian dan Perkembangan Tasawuf falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya.[1]
Tasawuf falsafi secara sederhana dapat di definisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam Islam untuk mengembangkan kesucian batin yang kaya dengan pandangan-pandangan filosofis. Keberadaan tasawuf  bercorak falsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya kurang senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi para ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya, tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda untuk direnangi.[2]
Menurut at-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dalam khazanah Islam sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal setelah seabad kemudian. Sejak saat itu, tasawuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama dikalangan para sufi yang juga filsuf, sampai menjelang akhir-akhir ini. Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti dari Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab, meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama apabila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini dapat menjelaskan kepada kita kegigihan para tokoh tasawuf jenis ini dalam mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi menyesuaikan maknanya dengan ajaran tasawuf yang mereka anut.[3]
Perbedaan ajaran tasawuf sunni dengan tasawuf falsafi adalah sebagai berikut:
     1)      Tasawuf sunni bersumber dari keterangan-keterangan yang termaktub dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Ajaran tasawuf ini mengajarkan umat Islam untuk memiliki akhlak yang telah diajarkan dalam al-Qur’an dan dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Sedangkan ajaran tasawuf falsafi berasal dari pemikiran filsafat yang berkembang baik sebelum maupun setelah Islam. Sedangkan pada tasawuf falsafi mengajarkan ajaran-ajaran yang merupakan perpaduan antara tasawuf dengan filsafat. Ajaran tasawuf falsafi misalnya al-Baqa’ dan al-Fana’ adalah ajaran Abu Yazid al-Bisthami yang mengajarkan bersatunya antara zat makhluk dengan tuhannya. Ajaran ini dipengaruhi oleh filsafat Plotinus.
       2)      Ajaran Tasawuf sunni berisi ajaran yang tidak menyimpang dari al-Qur’an dan al-Hadits. Semua ajarannya sesuai dengan kedua nash tersebut, sedangkan ajaran tasawuf falsafi mempunyai kecenderungan menyimpang dari keterangan yang terdapat dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut. Kaum sufi mengeluarkan kata-kata yang dikenal dengan syahadat, yaitu perkataan aneh kaum sufi yang diucapkan dalam keadaan tidak sadar. Sekedar contoh syahadat adalah perkataan Abu Yazid al-Bisthami yang mengeluarkan “Aku Adalah Allah, tidak Ada Tuhan Selain Aku”.
      3)      Tasawuf sunni mengajarkan adanya “ketidaksamaan” antara makhluk dengan Allah, ajaran tasawuf sunni menekankan kepada adanya ketidak-satuan Allah dengan ciptaannya. Ketika seorang sufi mencapai derajat yang tertinggi ia hanya akan mencapai derajat musyahadah dan mukasyafah, yaitu ajaran yang menegaskan adanya kemampuan kaum sufi untuk menyaksikan kekuasaan Allah dengan terbukanya tabir antara dia dengan allah sementara itu tasawuf falsafi mengajarkan adanya “kesatuan” Allah dengan mahluknya dengan ajaran Ittihad dan al-Hulul.
      4)      Memperhatikan keseimbangan antara hakikat dengan syariat. Karena ajaran tasawuf sunni berdasarkan ajaran yang termaktub dalam al-Quran dan al-Hadits. Mereka selalu menekankan akan pengamalan ajaran-ajaran tasawuf mereka dengan ajaran syariat yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Fenomena ini setidaknya dikemukakan oleh Imam Malik: “Barang siapa berilmu fiqh tapi tidak bertasawuf, maka sungguh ia telah fasik dan barang siapa yang bertasawuf tapi tidak berilmu fiqh maka sungguh ia zindiq, dan barang siapa berilmu fiqh dan bertasawuf, maka sungguh ia adalah yang tepat”. Sedangkan tasawuf falsafi mengenal apa yang disebut “nihilisme syari’at”, yaitu suatu bentuk ajaran yang menegaskan syari’at sebagai bentuk penolakan terhadap “hakikat” dan keberadaan benda-benda. Keyakinan ini mengajarkan bahwa syari’at hanya berlaku kepada seseorang yang berkeyakinan bahwa dirinya “berbeda” dari tuhannya, sehingga bagi mereka yang telaah melepaskan dari keyakinaan itu, tak perlu melaksanakan ajaran syari’at.[4]






          B.     Tokoh-tokoh Tasawuf Falsafi dan Konsep Ajarannya
Diantara tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah Ibnu Arabi, al-Jili, Ibnu Sab’in, dan Ibnu Masarrah.
           1.      Ibnu Arabi
a.       Riwayat Hidup
Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah ath-Tha’i Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuan.[5] Namanya biasa disebut tanpa “al” untuk membedakan dengan Abu Bakar Ibnu al-Arabi, seorang qadhi dari Sevilla yang wafat pada tahun 543 H. Di Sevilla (Spanyol), ia mempelajari al-Qur’an, al-Hadits, serta fiqh pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal, yaitu Ibnu Hazm azh-Zhahiri.
Setelah berusia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Diantara deretan guru-gurunya, tercatat nama-nama, seperti Abu Madyan al-Ghauts at-Talimsari dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan wanita). Keduanya banyak memengaruhi ajaran Ibnu Arabi. Dikabarkan, ia pun pernah berjumpa dengan Ibnu Rusyd, filsuf muslim dan tabib istana dinasti berbar dari Alomohad, di Kordova. Ia pun dikabarkan mengunjungi al-Mariyyah yang menjadi pusat madrasah Ibnu Masarrah, seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh dan memperoleh banyak pengaruh di Andalusia.
b.      Ajaran-ajaran Tasawufnya
Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang wahdad al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdad al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya, tidaklah berasal darinya, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut, atau setidak-tidaknya tokoh itulah yang telah berjasa dalam mempopulerkannya ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif. Di samping itu, meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah wahdad al-wujud  untuk menyebut ajaran sentral Ibnu Arabi, mereka berbeda pendapat dalam menformulasikan pengertian wahdad al-wujud.
Menurut Ibnu Taimiyyah, wahdad al-wujud adalah penyamaan tuhan dan alam. Menurut penjelasannya, orang-orang yang mempunyai paham wahdad al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga mumkin al-wujud yang dimiliki oleh mahluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdad al-wujud juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan, tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.[6]
           2.      Al-Jili
a.       Riwaya Hidup
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365 M di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kasfia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama al-Jili diambil dari tempat kelahiranya di Gilan.  Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M. Kemudian belajar tasawuf dibawah bimbingan Abdul Qadir al-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin Tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal. Disamping itu, berguru pula pada Syekh Syarafddin Isma’il bin Ibrahim al-Jabarti di Zabith (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.[7]
b.      Ajaran-ajaran Tasawufnya
Ajaran tasawuf al-Jili yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna). Menurut al-Jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti disebutkan dalam hadits yang artinya:
“Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman”
Hadits lain menyebutkan yang artinya:
“Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya”
Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat  seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (Adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses-proses yang terjadi setelah ini ada setelah Tuhan menciptakan substansi, huwiyah Tuhan dihadapkan dengan huwiyah Adam, aniyah-Nya disandingkan dengan aniyah Adam, dan Dzat-Nya dihadapkan pada Dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya.[8] Melalui konsep ini, kita memahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama ilahiah.
           3.      Ibnu Sab’in
a.       Riwayat Hidup
Nama lengkap Ibnu Sab’in adalah Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn Nashr, seorang sufi dan juga filsuf dari Andalusia. Dia terenal di Eropa karena jawaban-jawabannya atas pernyataan Frederik II, penguasa Sicilia. Dia dipanggil Ibnu Sab’in dan diberi gelar Quthbuddin, tetapi kadang-kadang, ia dikenal pula dengan Abu Muhammad. Dia dilahirkan tahun 614 H (1217-1218M) di kawasan Murcia.[9]
Ibnu Sab’in tumbuh dewasa dalam keluarga bangsawan. Ayahnya adalah penguasa kota kelahirannya. begitu juga, dengan nenek moyangnya, yang juga dari kalangan para penguasa. Menurut sebagian penulis biografinya, Ibnu Sab’in hidup dalam suasana penuh kemuliaan dan kecukupan. Kemudian, dia menjauhi kesenangan hidup, kemewahan, dan kepemimpinan duniawi, dan seterusnya hidup sebagai asketis ataupun sufi yang banyak mempunyai murid.
b.      Ajaran-ajaran Tasawufnya
Ibnu Sab’in adalah seorang pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial pahamnya sederhana saja, yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Adapun wujud lainnya hanyalah wujud yang satu itu sendiri. Jelasnya, wujud-wujud yang lain itu hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud yang satu. Dengan demikian, wujud dalam kenyataannya hanya satu persoalan yang tetap.[10]
Paham ini lebih dikenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak. Hal ini karena ia berbeda dari paham-paham tasawuf yang memberi ruang lingkup pada pendapat-pendapat tentang hal yang mungkin didalam suatu bentuk.
Pemikiran-pemikiran Ibnu Sab’in merujuk pada dalil-dalil al-Quran yang di interpretasikan secara filosofis atau khusus, misalnya firman Allah sebagai berikut:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ
“Dialah yang awal, yang akhir, yang zahir, dan yang batin”[11]
(Q.S. Al-Hadid [57]: 3)

Dan ayat lain mengatakan :
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
“Segala sesuatu pasti binasa kecuali Allah”[12]
(Q.S. Al-Qasas [28]: 88)
Dalam paham ini, Ibnu Sab’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Sebab, wujud Allah menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini ataupun masa depan. Sementara, wujud materi yang tampak justru ia rujukkan pada wujud mutlak yang rohaniyah. Dengan demikian, paham ini dalam menafsirkan wujud bercorak spiritual, bukan materil. [13]
           4.      Ibnu Masarrah
a.       Riwayat Hidup
Seorang sufi yang di anggap sebagai perintis tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah (w.319/931) yang hidup di andalusia. Sekaligus dia dapat di anggap sebagai filosof sufi pertama dalam dunia islam.
b.      Ajaran-ajaran Tasawufnya
 Ajaran tasawufnya dipengaruhi oleh pandangan filsafat emanasi sebagai kelanjutan emanasi plotinus. Menurutnya, melalui jalan tasawuf manusia dapat melepaskan jiwanya dari belenggu atau penjara badan dan memperoleh karunia tuhan berupa penyinaran hati dengan nur tuhan. Suatu ma’rifat yang memberikan kebahagiaan sejati. Ia juga menganut pandangan bahwa kehidupan akhirat bersifat rohani, sehinggga di akhirat kelak manusia dibangkitkan ruhnya saja, tidak dengan badan. Pandangan yang amat mirip dengan pernyataan Ibnu Sina tentang kebangkitan manusia kelak di akhirat.[14]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tasawuf falsafi secara sederhana dapat di definisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam islam untuk mengembangkan kesucian batin yang kaya dengan pandangan-pandangan filosofis. Keberadaan tasawuf  bercorak falsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya kurang senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi para ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya, tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda untuk direnangi.
Seorang sufi yang di anggap sebagai perintis tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah (w.319 atau 931) yang hidup di andalusia. Sekaligus dia dapat di anggap sebagai filosof sufi pertama dalam dunia Islam.
Tokoh kedua yang berpengaruh besar dalam dunia tasawuf falsafi adalah Suhrawardi al-Maqtul, sufi yang di bunuh di Aleppo pada tahun 587 atau 1191, karena pandangannya yang telah keluar dari Islam menurut ulama fuqaha. Suhrawardi juga seorang penganut paham emanasinya Ibnu Sina.
Tasawuf falsafi di nusantara di pelopori oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari pulau Andalas (Sumatra) pada abad ke 17 M.





DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
At-Taftazani, Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi. Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj.
Ahmad Rafi’I Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985.
Departemen Agama. Qur’an tajwid dan terjemahnya. Jakarta: Maghfirah
Pustaka, 2006.
Nasution, Harun. Ensiklopedia Islam, Juz II. Jakarta: Jambatan, 1992.
Solihin, Mohammad Muchlis. Akhlak & Tasawuf  Dalam Wacana Kontemporer
Upaya Sang Sufi Menuju Allah. Surabaya: Pena Salsabila, 2014.







LEMBAR KERJA
PERTANYAAN
       1)      Kelompok 1
Jelaskan apa yang di maksud dengan insan kamil dan apakah insan kamil itu mencerminkan diri anda sendiri ?
       2)      Kelompok 2
Siapakah perintis pertama yang mencetuskan filosof sufi dalam dunia islam ? dan sertakan konsep ajarannya !
       3)      Kelompok 3
Apa yang di maksud dengan ajaran Ittihad ?
       4)      Kelompok 4
Jelaskan perbedaan antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi !
       5)      Kelompok 5
Sebutkan tokoh-tokoh dalam tasawuf falsafi ?
       6)      Kelompok 6
Dalam tasawuf juga dikenal “Wahdatul Wujud”. Jelaskan maksudnya, dan siapakah yang memunculkan serta mengembangkannya ?
       7)      Kelompok 8
Apa yang dimaksud dengan ajaran tasawuf falsafi ?














[1]Abu al-Wafa’ al-Ghanimi at-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad Rafi’I Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 187.
[2]Mohammad  Muchlis Solihin, Akhlak & Tasawuf Dalam Wacana Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah (Surabaya: Pena Salsabila, 2014),  hlm. 131.
[3]Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 277.
[4]Solihin, Akhlak & Tasawuf, hlm. 135.
[5]At-Taftazani, Sufi dari Zaman, hlm. 201.
[6]Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 279-280.
[7] Ibid.
[8]Harun Nasution, Ensiklopedia Islam, Juz II (Jakarta: Jambatan, 1992), hlm. 77.
[9]Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 294.
[10]Ibid.
[11]Departemen Agama, Qur’an tajwid dan terjemahnya (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006) hlm., 537.
[12]Ibid. 396.
[13]Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 299.
[14] Solihin, Akhlak & Tasawuf, hlm. 136.
 



No comments:

Post a Comment