TASAWUF FALSAFI
MAKALAH
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf yang diampu oleh Bapak Moch.
Cholid Wardi, M.HI
Oleh
Kelompok 7 :
SAHRUL ROMADHON
NIM. 20160703040065
MOH. HESBUL MAULANA
NIM. 20160703040058
FAHRUR ROZI
NIM.
20160703040048
ACH. SYAFII
NIM. 20160703040044
PRODI AKUNTANSI SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN
2016
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Bismillahirrahmanirrahim
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat serta karunianya
kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang alhamdulillah
tepat pada waktunya. Tanpa pertolongannya mungkin kami tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik.
Dengan
membuat tugas ini kami diharapkan mampu
untuk lebih mengenal tentang tasawuf falsafi mengenai konsep dan tokohnya.
Dalam
penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan
oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun, berkat bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak, akhirnya karya ilmiyah ini dapat terselesaikan
dengan cukup baik.
Penulisan
makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan
makalah yang lebih baik di masa yang akan datang.
Akhir
kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga allah SWT
senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amiin.
Wassalamualaikum
Wr.Wb
Pamekasan, 4 Oktober 2016
PENYUSUN
KELOMPOK 7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar
Belakang ..................................................................................................1
B. Rumusan
masalah ..............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................2
A. Pengertian
dan perkembangan tasawuf falsafi ......................................................2
B. Tokoh-tokoh
tasawuf falsafi dan konsep ajarannya.............................................5
BAB III PENUTUP..............................................................................................10
A. Kesimpulan.......................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................11
LEMBAR KERJA...............................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Berbicara tentang tasawuf, maka
yang ada adalah pembahasan yang berkaitan dengan ketuhanan. Namun sebelum
melanjutkan pembahasan perlu kita ketahui bahwa tasawuf itu sendiri memiliki
beberapa aliran, seperti tasawuf akhlaqi, tasawuf sunni dan tasawuf falsafi.
Ada pula yang membagi tasawuf kedalam tasawuf amali, tasawuf falsafi dan
tasawuf ilmi.
Berbagai macam ajaran filsafat yang
telah mempengaruhi para tokohnya berangkat dari tasawuf falsafi, maka kita
tidak akan lepas dari ide dasarnya yaitu pantheisme,
dan pantheisme itu sendiri berasal
dari kata yunani, yaitu “pan” yang
berarti semua dan “theos” yang
berarti tuhan. Jadi pantheisme adalah
paham yang menganggap tuhan adalah immanen
“ada didalam” mahluk-mahluk dengan kata lain tuhan dan alam adalah sama.
Kaum sufi falsafi menganggap
bahwasanya tiada sesuatupun yang wujud kecuali Allah, sehingga manusia dan alam
semesta, semuanya adalah Allah. Mereka tidak menganggap bahwasanya Allah itu
zat yang esa, yang bersemayam di atas arsy. Dalam tasawuf falsafi, tentang
bersatunya tuhan dengan mahluknya, setidaknya terdapat beberapa tema yang telah
masyhur yaitu: hulul, wahdad al-wujud dan ijtihad.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pengertian tasawuf falsafi?
2. Siapa
tokoh-tokoh tasawuf falsafi?
3. Bagaimana
konsep ajaran para tokoh tasawuf falsafi?
C.
Tujuan
Pembahasan
1. Untuk
mengetahui pengertian tasawuf falsafi
2. Untuk
mengetahui siapa tokoh-tokoh tasawuf falsafi
3. Untuk
mengetahui ajaran tokoh-tokoh tasawuf falsafi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Perkembangan Tasawuf falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya.
Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminologi
filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari
bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya.[1]
Tasawuf falsafi secara sederhana dapat
di definisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam Islam untuk
mengembangkan kesucian batin yang kaya dengan pandangan-pandangan filosofis.
Keberadaan tasawuf bercorak falsafi ini
pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya kurang
senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi para
ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya,
tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda
untuk direnangi.[2]
Menurut at-Taftazani, tasawuf falsafi
mulai muncul dalam khazanah Islam sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para
tokohnya baru dikenal setelah seabad kemudian. Sejak saat itu, tasawuf jenis
ini terus hidup dan berkembang, terutama dikalangan para sufi yang juga filsuf,
sampai menjelang akhir-akhir ini. Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat
dalam ajaran tasawuf falsafi ini dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran
tasawuf bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti dari
Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai
tasawuf tetap tidak hilang. Sebab, meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan
dan pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring dengan ekspansi Islam yang
telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian
ajaran aliran mereka, terutama apabila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai
umat Islam. Sikap ini dapat menjelaskan kepada kita kegigihan para tokoh
tasawuf jenis ini dalam mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari
luar Islam ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi
filsafat, tetapi menyesuaikan maknanya dengan ajaran tasawuf yang mereka anut.[3]
Perbedaan ajaran tasawuf sunni
dengan tasawuf falsafi adalah sebagai berikut:
1) Tasawuf
sunni bersumber dari keterangan-keterangan yang termaktub dalam al-Qur’an dan
al-Hadits. Ajaran tasawuf ini mengajarkan umat Islam untuk memiliki akhlak yang
telah diajarkan dalam al-Qur’an dan dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Sedangkan ajaran tasawuf falsafi berasal dari pemikiran filsafat yang berkembang
baik sebelum maupun setelah Islam. Sedangkan pada tasawuf falsafi mengajarkan
ajaran-ajaran yang merupakan perpaduan antara tasawuf dengan filsafat. Ajaran
tasawuf falsafi misalnya al-Baqa’ dan al-Fana’ adalah ajaran Abu Yazid
al-Bisthami yang mengajarkan bersatunya antara zat makhluk dengan tuhannya.
Ajaran ini dipengaruhi oleh filsafat Plotinus.
2) Ajaran
Tasawuf sunni berisi ajaran yang tidak menyimpang dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Semua ajarannya sesuai dengan kedua nash tersebut, sedangkan ajaran tasawuf
falsafi mempunyai kecenderungan menyimpang dari keterangan yang terdapat dalam
kedua sumber ajaran Islam tersebut. Kaum sufi mengeluarkan kata-kata yang
dikenal dengan syahadat, yaitu perkataan aneh kaum sufi yang diucapkan dalam
keadaan tidak sadar. Sekedar contoh syahadat adalah perkataan Abu Yazid al-Bisthami
yang mengeluarkan “Aku Adalah Allah, tidak Ada Tuhan Selain Aku”.
3) Tasawuf
sunni mengajarkan adanya “ketidaksamaan” antara makhluk dengan Allah, ajaran
tasawuf sunni menekankan kepada adanya ketidak-satuan Allah dengan ciptaannya.
Ketika seorang sufi mencapai derajat yang tertinggi ia hanya akan mencapai
derajat musyahadah dan mukasyafah, yaitu ajaran yang menegaskan adanya
kemampuan kaum sufi untuk menyaksikan kekuasaan Allah dengan terbukanya tabir
antara dia dengan allah sementara itu tasawuf falsafi mengajarkan adanya
“kesatuan” Allah dengan mahluknya dengan ajaran Ittihad dan al-Hulul.
4) Memperhatikan
keseimbangan antara hakikat dengan syariat. Karena ajaran tasawuf sunni
berdasarkan ajaran yang termaktub dalam al-Quran dan al-Hadits. Mereka selalu
menekankan akan pengamalan ajaran-ajaran tasawuf mereka dengan ajaran syariat
yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Fenomena ini setidaknya dikemukakan
oleh Imam Malik: “Barang siapa berilmu fiqh tapi tidak bertasawuf, maka sungguh
ia telah fasik dan barang siapa yang bertasawuf tapi tidak berilmu fiqh maka
sungguh ia zindiq, dan barang siapa berilmu fiqh dan bertasawuf, maka sungguh
ia adalah yang tepat”. Sedangkan tasawuf falsafi mengenal apa yang disebut “nihilisme syari’at”, yaitu suatu bentuk ajaran yang menegaskan syari’at
sebagai bentuk penolakan terhadap “hakikat” dan keberadaan benda-benda.
Keyakinan ini mengajarkan bahwa syari’at hanya berlaku kepada seseorang yang
berkeyakinan bahwa dirinya “berbeda” dari tuhannya, sehingga bagi mereka yang
telaah melepaskan dari keyakinaan itu, tak perlu melaksanakan ajaran syari’at.[4]
B. Tokoh-tokoh
Tasawuf Falsafi dan Konsep Ajarannya
Diantara tokoh-tokoh tasawuf
falsafi adalah Ibnu Arabi, al-Jili, Ibnu Sab’in, dan Ibnu Masarrah.
1. Ibnu
Arabi
a. Riwayat
Hidup
Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Muhammad
bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah ath-Tha’i Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia
Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuan.[5]
Namanya biasa disebut tanpa “al” untuk membedakan dengan Abu Bakar Ibnu al-Arabi,
seorang qadhi dari Sevilla yang wafat pada tahun 543 H. Di Sevilla (Spanyol),
ia mempelajari al-Qur’an, al-Hadits, serta fiqh pada sejumlah murid seorang
faqih Andalusia terkenal, yaitu Ibnu Hazm azh-Zhahiri.
Setelah berusia 30 tahun, ia mulai
berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat.
Diantara deretan guru-gurunya, tercatat nama-nama, seperti Abu Madyan al-Ghauts
at-Talimsari dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan wanita).
Keduanya banyak memengaruhi ajaran Ibnu Arabi. Dikabarkan, ia pun pernah
berjumpa dengan Ibnu Rusyd, filsuf muslim dan tabib istana dinasti berbar dari
Alomohad, di Kordova. Ia pun dikabarkan mengunjungi al-Mariyyah yang menjadi
pusat madrasah Ibnu Masarrah, seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh dan
memperoleh banyak pengaruh di Andalusia.
b. Ajaran-ajaran
Tasawufnya
Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang
wahdad al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdad
al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya, tidaklah berasal
darinya, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyyah, tokoh yang paling keras dalam
mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut, atau setidak-tidaknya tokoh
itulah yang telah berjasa dalam mempopulerkannya ke tengah masyarakat Islam,
meskipun tujuannya negatif. Di samping itu, meskipun semua orang sepakat
menggunakan istilah wahdad al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibnu Arabi,
mereka berbeda pendapat dalam menformulasikan pengertian wahdad al-wujud.
Menurut Ibnu Taimiyyah, wahdad
al-wujud adalah penyamaan tuhan dan alam. Menurut penjelasannya,
orang-orang yang mempunyai paham wahdad al-wujud mengatakan bahwa wujud
itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh khaliq
adalah juga mumkin al-wujud yang dimiliki oleh mahluk. Selain itu,
orang-orang yang mempunyai paham wahdad al-wujud juga mengatakan bahwa
wujud alam sama dengan wujud tuhan, tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.[6]
2. Al-Jili
a. Riwaya
Hidup
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim
al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365 M di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah
selatan Kasfia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama al-Jili diambil dari tempat
kelahiranya di Gilan. Ia adalah seorang
sufi yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh
para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan
perjalanan ke India tahun 1387 M. Kemudian belajar tasawuf dibawah bimbingan
Abdul Qadir al-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin Tarekat Qadiriyah yang
sangat terkenal. Disamping itu, berguru pula pada Syekh Syarafddin Isma’il bin
Ibrahim al-Jabarti di Zabith (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.[7]
b. Ajaran-ajaran
Tasawufnya
Ajaran tasawuf al-Jili yang terpenting
adalah paham insan kamil (manusia sempurna). Menurut al-Jili, insan
kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti disebutkan dalam
hadits yang artinya:
“Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang
Maharahman”
Hadits
lain menyebutkan yang artinya:
“Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya”
Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki
sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu
berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (Adam) pun memiliki sifat-sifat
seperti itu. Proses-proses yang terjadi setelah ini ada setelah Tuhan
menciptakan substansi, huwiyah Tuhan dihadapkan dengan huwiyah Adam,
aniyah-Nya disandingkan dengan aniyah Adam, dan Dzat-Nya
dihadapkan pada Dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam
segala hakikat-Nya.[8]
Melalui konsep ini, kita memahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaannya
merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya.
Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama ilahiah.
3. Ibnu
Sab’in
a. Riwayat
Hidup
Nama lengkap Ibnu Sab’in adalah Abdul
Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn Nashr, seorang sufi dan juga filsuf dari
Andalusia. Dia terenal di Eropa karena jawaban-jawabannya atas pernyataan Frederik
II, penguasa Sicilia. Dia dipanggil Ibnu Sab’in dan diberi gelar Quthbuddin,
tetapi kadang-kadang, ia dikenal pula dengan Abu Muhammad. Dia dilahirkan tahun
614 H (1217-1218M) di kawasan Murcia.[9]
Ibnu Sab’in tumbuh dewasa dalam keluarga
bangsawan. Ayahnya adalah penguasa kota kelahirannya. begitu juga, dengan nenek
moyangnya, yang juga dari kalangan para penguasa. Menurut sebagian penulis
biografinya, Ibnu Sab’in hidup dalam suasana penuh kemuliaan dan kecukupan.
Kemudian, dia menjauhi kesenangan hidup, kemewahan, dan kepemimpinan duniawi,
dan seterusnya hidup sebagai asketis ataupun sufi yang banyak mempunyai murid.
b. Ajaran-ajaran
Tasawufnya
Ibnu Sab’in adalah seorang pengasas
sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham
kesatuan mutlak. Gagasan esensial pahamnya sederhana saja, yaitu wujud adalah
satu alias wujud Allah semata. Adapun wujud lainnya hanyalah wujud yang satu
itu sendiri. Jelasnya, wujud-wujud yang lain itu hakikatnya sama sekali tidak
lebih dari wujud yang satu. Dengan demikian, wujud dalam kenyataannya hanya
satu persoalan yang tetap.[10]
Paham ini lebih dikenal dengan
sebutan paham kesatuan mutlak. Hal ini karena ia berbeda dari paham-paham
tasawuf yang memberi ruang lingkup pada pendapat-pendapat tentang hal yang
mungkin didalam suatu bentuk.
Pemikiran-pemikiran Ibnu Sab’in
merujuk pada dalil-dalil al-Quran yang di interpretasikan secara filosofis atau
khusus, misalnya firman Allah sebagai berikut:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ
“Dialah yang awal, yang akhir, yang zahir, dan yang
batin”[11]
(Q.S. Al-Hadid [57]: 3)
Dan
ayat lain mengatakan :
كُلُّ شَيْءٍ
هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
“Segala
sesuatu pasti binasa kecuali Allah”[12]
(Q.S. Al-Qasas [28]: 88)
Dalam paham ini, Ibnu Sab’in
menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Sebab, wujud Allah menurutnya adalah
asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini ataupun masa depan. Sementara,
wujud materi yang tampak justru ia rujukkan pada wujud mutlak yang rohaniyah.
Dengan demikian, paham ini dalam menafsirkan wujud bercorak spiritual, bukan
materil. [13]
4. Ibnu
Masarrah
a. Riwayat
Hidup
Seorang sufi yang di anggap sebagai
perintis tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah (w.319/931) yang hidup di andalusia.
Sekaligus dia dapat di anggap sebagai filosof sufi pertama dalam dunia islam.
b. Ajaran-ajaran
Tasawufnya
Ajaran tasawufnya dipengaruhi oleh pandangan
filsafat emanasi sebagai kelanjutan emanasi plotinus. Menurutnya, melalui jalan
tasawuf manusia dapat melepaskan jiwanya dari belenggu atau penjara badan dan
memperoleh karunia tuhan berupa penyinaran hati dengan nur tuhan. Suatu
ma’rifat yang memberikan kebahagiaan sejati. Ia juga menganut pandangan bahwa
kehidupan akhirat bersifat rohani, sehinggga di akhirat kelak manusia
dibangkitkan ruhnya saja, tidak dengan badan. Pandangan yang amat mirip dengan
pernyataan Ibnu Sina tentang kebangkitan manusia kelak di akhirat.[14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf falsafi secara sederhana dapat
di definisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam islam untuk
mengembangkan kesucian batin yang kaya dengan pandangan-pandangan filosofis.
Keberadaan tasawuf bercorak falsafi ini
pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya kurang
senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi para
ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya,
tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda
untuk direnangi.
Seorang sufi yang di anggap sebagai
perintis tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah (w.319 atau 931) yang hidup di
andalusia. Sekaligus dia dapat di anggap sebagai filosof sufi pertama dalam
dunia Islam.
Tokoh kedua yang berpengaruh besar dalam
dunia tasawuf falsafi adalah Suhrawardi al-Maqtul, sufi yang di bunuh di Aleppo
pada tahun 587 atau 1191, karena pandangannya yang telah keluar dari Islam
menurut ulama fuqaha. Suhrawardi juga seorang penganut paham emanasinya Ibnu Sina.
Tasawuf falsafi di nusantara di pelopori
oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari
pulau Andalas (Sumatra) pada abad ke 17 M.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Akhlak
Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
At-Taftazani, Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi. Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj.
Ahmad Rafi’I Utsmani. Bandung: Pustaka,
1985.
Departemen Agama. Qur’an tajwid dan terjemahnya. Jakarta:
Maghfirah
Pustaka, 2006.
Nasution, Harun. Ensiklopedia Islam, Juz II. Jakarta:
Jambatan, 1992.
Solihin,
Mohammad Muchlis. Akhlak &
Tasawuf Dalam Wacana Kontemporer
Upaya
Sang Sufi Menuju Allah. Surabaya:
Pena Salsabila, 2014.
LEMBAR KERJA
PERTANYAAN
1) Kelompok 1
Jelaskan apa yang di maksud dengan insan kamil dan apakah insan kamil itu
mencerminkan diri anda sendiri ?
2) Kelompok 2
Siapakah perintis pertama yang mencetuskan filosof sufi dalam dunia islam ?
dan sertakan konsep ajarannya !
3) Kelompok 3
Apa yang di maksud dengan ajaran Ittihad ?
4) Kelompok 4
Jelaskan perbedaan antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi !
5) Kelompok 5
Sebutkan tokoh-tokoh dalam tasawuf falsafi ?
6) Kelompok 6
Dalam tasawuf juga dikenal “Wahdatul Wujud”. Jelaskan
maksudnya, dan siapakah yang memunculkan serta mengembangkannya ?
7) Kelompok 8
Apa yang dimaksud dengan ajaran tasawuf falsafi ?
[1]Abu
al-Wafa’ al-Ghanimi at-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad
Rafi’I Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 187.
[2]Mohammad Muchlis Solihin, Akhlak & Tasawuf Dalam Wacana Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju
Allah (Surabaya: Pena Salsabila, 2014),
hlm. 131.
[3]Rosihon
Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.
277.
[4]Solihin, Akhlak & Tasawuf, hlm. 135.
[5]At-Taftazani,
Sufi dari Zaman, hlm. 201.
[6]Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 279-280.
[8]Harun
Nasution, Ensiklopedia Islam, Juz II (Jakarta: Jambatan, 1992), hlm. 77.
[9]Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 294.
[10]Ibid.
[11]Departemen
Agama, Qur’an tajwid dan terjemahnya
(Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006) hlm., 537.
[12]Ibid.
396.
[13]Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 299.
[14] Solihin, Akhlak & Tasawuf, hlm. 136.
No comments:
Post a Comment